“Kamu tidak boleh pergi ke luar sendirian. Di luar banyak arwah penasaran.”
Kali ini, aku tidak perlu memanggilnya. Ia muncul sendiri di spot kesukaannya. Sambil berkacak pinggang, aku menatapnya sebal. Si malaikat sialan itu masih asyik duduk di meja belajarku sambil mengayun-ayunkan kaki.
“Apa mereka akan memakanku?” tanyaku sinis.
Ia tidak menjawab, hanya menatapku dengan sorot mata bosan.
“Kamu tidak bisa muncul seenaknya jika tidak dipanggil,” kataku.
Peringatanku membuatnya tertawa. Ia menepuk meja beberapa kali untuk mengejekku. “Memangnya kamu tuanku? Kenapa aku harus mengikuti aturanmu?”
“Setidaknya kita harus saling menghargai jika mau akur satu sama lain,” sahutku sambil bersedekap. “Aku tidak tahu alasanmu kenapa selalu muncul di sekitarku. Padahal kamu bisa saja muncul di mana saja, di kuburan kek. Atau di kost-kostan cewek. Tetapi karena kamu ngotot, kita harus punya aturan yang jelas tentang kapan dan di mana kamu boleh muncul.”
Si malaikat mengernyit geli. “Kamu pikir aku cabul?”
Aku mengangkat bahu. Sebelumnya, tidak pernah terpikirkan olehku tentang bagaimana jika ia tiba-tiba muncul saat aku sedang berganti pakaian. Namun sekarang, aku pikir kami memang harus menegaskan sekali lagi tentang aturan itu.
“Tenanglah, aku tidak akan muncul sembarangan, tidak melihat kamu ganti baju atau sebagainya,” katanya dengan raut bosan. Ia turun dari meja dan lagi-lagi melihat foto di dinding. “Aku tidak menerima panggilan atau semacamnya. Aku hanya akan muncul jika aku ingin muncul.”
Pernyataan sikapnya itu membuatku mengangguk. Cukup sudah perihal aturan, aku harus kembali fokus pada kasus Kakek sahir. Aku menelepon nomor polisi yang bernama Hariza Dio itu. sayangnya, panggilanku tidak dijawab. Akhirnya, aku mengirimkan pesan lewat aplikasi perpesanan.
Balasannya datang setelah aku selesai mandi. Bisa temui saya di kantor? Ada yang mau saya perlihatkan.
Pesan itu membuatku semangat. Mengabaikan kondisi tubuh yang sedang oleng, aku menanyakan alamat kantornya dan bersiap. Si malaikat maut sudah tidak tampak, aku tidak ambil pusing. Sekitar pukul sebelas, aku berangkat menggunakan ojek online. Kantor polisi itu terletak di pusat kota. Jalanan lumayan macet, membuat waktu tempuh kami bertambah lama. Ditambah lagi dengan panas terik ini. Jalanan makin terasa melelahkannya. Tubuhku makin terasa tidak sehat karenanya.
Aku kembali mengirim pesan ketika sudah sampai di lobi. Petugas itu memintaku menunggu karena masih ada tamu. Aku duduk di salah satu kursi sambil mengamati benda yang kutemukan di rumah kosong tadi pagi. Gantungan kunci ini lucu, selain manik-manik berwarna, di ujungnya juga ada semacam lonceng mungil dan kepala boneka. Aku tidak tahu apakah ini lonceng atau apa, karena bentunya bulat tertutup dan tidak memiliki bandul. Namun, bunyi berkerincing terdengar ketika benda itu digoyangkan.
Keasyikanku mengamati benda itu teralihkan ketika beberapa menit kemudian, aku mendengar percakapan. Rupanya Pak Hariza, ia sudah berada di ujung tangga sambil bercakap dengan seorang perempuan.
“Siang, Dik Jara. Mari kita mengobrol di atas,” sapa polisi itu setelah tamunya berpamitan. Ia memintaku memanggilnya Dio saja. Ia tidak mengenakan seragam polisi, hanya kemeja dan celana kain biasa. Tingginya hampir sama dengan Kak Bara, tetapi lebih tegap dan berisi. Dari wajahnya, aku menebak jika ia berumur sekitar tiga puluhan tahun.
Ia membimbingku melewati koridor dan menuju sebuah tangga. Aku mengikutinya, iseng bertanya, “Ada perkembangan baru untuk kasusnya, Pak?”
“Ada. Makanya saya ingin tahu pendapat Mbak Jara soal ini,” katanya sambil mendaki tangga.
Aku mengikuti langkahnya dengan langkah pelan. Staminaku tidak begitu bagus, membuatku napasku terengah saat sampai di ujung atas. Syukur kami hanya mendaki satu lantai, sehingga aku tidak harus sampai pingsan untuk mengikutinya.
Pak Dio mengajakku ke sebuah ruangan yang mirip ruang rapat kecil. Satu meja berdiri di sudut ruangan, diapit tiga kursi. Pak Dio mengambil satu kursi dan aku diminta duduk di hadapannya. Sementara di pojok lain, duduk seorang polisi berseragam sambil bersandar di tembok. Wajahnya tidak terlihat karena posisinya membelakangi kami. Ia tampaknya tertidur karena tidak memedulikan kehadiran kami.
“Dik Jara, ada apa?” tanya Pak Dio. Barangkali ia heran karena aku tidak kunjung duduk.
Aku menujuk ke polisi di sudut. “Teman Bapak tidur di sana, capek sekali kelihatannya,” sahutku sambil duduk.
Pak Dio tidak menyahut, hanya menggilir mataku dan sudut yang kutunjuk. Dahinya mengerut. Ekspresinya itu membuatku curiga dan kembali memperhatikan sosok di sudut lekat-lekat.
“Oh, shit!” makiku pelan saat menyadari ada semacam kabut hitam yang menyelubunginya. Aku tidak menyadarinya karena ruangan ini sedikit redup.
“Kenapa?” tanya Pak Dio curiga.
Aku menggeleng, berkata tidak apa-apa. Namun nada suara dan gestur yang mendadak kaku ini pasti membongkar kebohonganku. Pak Dio menelisik ke dalam mataku, menyampaikan kecurigaannya. Namun, syukur ia bersikap sopan dan tidak mendesakku. Ia mengabaikan kecurigaan di benaknya dan mengalihkan perhatian pada laptop.
“Kira-kira, keterangan apa yang mau kamu sampaikan pada saya?” tanyanya.
Aku pun bercerita tentang seragam yang dilihat Kakek Sahir. “Orang yang mengantarkan makanan itu kemungkinan besar bekerja sebagai ojek online. Ia memakai seragam yang sama seperti seragam panti, warnanya sama-sama hijau. Ia juga sering lewat di depan rumah. Kakek Sahir mungkin tidak mengerti jika banyak yang menggunakan seragam seperti itu, sehingga mengira mereka adalah orang yang sama. Karena itu, Bapak bisa melacaknya dengan memeriksa identitas driver yang mengantarkan pesanan sekitar waktu itu ke rumah Kakek Sahir.”
“Tunggu-tunggu, bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa itu ojek online? Kamu dapat informasi ini dari mana?” selanya.
Aku sudah memprediksi pertanyaan ini, jadi dengan lancar menyampaikan jawaban yang aku susun di otak. “Rasanya, saya pernah lihat ada driver ojek online yang mengantarkan makanan malam-malam ke rumah sebelah.”