Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #11

Bab 11

Kehabisan uang hanyalah awal dari kesialanku hari ini. Saat keluar dari gerbang kantor polisi, kepalaku terasa berputar. Aku tidak tahu apakah karena insiden dengan roh semalam atau memang kondisiku menurun setelah sempat mati suri, tubuhku benar-benar tidak sehat.

Meriang dan pusing ini juga membuat konsentrasiku juga turun. Saat menyeberang jalan, tubuhku agak sedikit oleng sehingga terserempet sepeda motor. Setang motor itu membentur tepat di perut dan aku terpelanting ke jalan, dengan posisi dada membentur aspal terlebih dahulu.

Aku kaget luar biasa. Orang-orang di sekitar datang berkerumun, menanyakan apakah kondisiku baik-baik saja. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan mereka, nyeri di perut dan kepala membuatku tidak bisa berkata-kata. Ketika dibantu bangun oleh orang-orang di sekitar, ada cairan hangat yang mengalir di pelipis. Aromanya amis. Aku menyentuhnya, warnanya merah pekat.

Orang-orang kaget. Mereka heboh saat melihatku berdarah. Aku sendiri juga syok, hanya bisa memandangi bercak darah di tangan. Kelamaan, pandanganku mulai kabur dan ceceran darah itu menjadi buram. Suara-suara di sekitar teredam oleh sesuatu, mulai menjauh seperti volume Spotify yang dikecilkan. Situasi seperti ini mengingatkanku pada detik-detik ketika si malaikat maut menjemputku tempo hari.

Mungkinkah aku akan mati saat ini? Apakah keberadaannya di sekitarku memang untuk memudahkan menjemputku?

Entahlah. Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi karena segalanya menjadi hitam dan sunyi.

*

Aku terbangun di rumah sakit lagi. Meski plafonnya asing, tetapi aku masih ingat aroma ini. Alkohol yang bercampur antiseptik. Ujung tiang penyangga infus mencuat di sisi kiri, dilatarbelakangi tirai berwarna biru.

Iya, ini pasti rumah sakit. Kenanganku saat terjaga dari mati suri itu tempo hari begitu kuat, tidak lagi membuatku kaget secara berlebih. Ini memang bukan hal yang patut dibanggakan, tetapi sepertinya aku sudah terbiasa terbangun di rumah sakit. Rasa mual dan pusing menyela, membuatku merintih.

“Kamu sudah sadar?” tanya seseorang. Bukan si malaikat maut. Bukan pula Mbak Iswari dan Kak Bara. Suara itu lebih berat. Tidak ada intonasi cemas di dalamnya, menandakan ia mungkin terbiasa berhadapan dengan kondisi seperti ini.

Aku menoleh, kaget mendapati sosok yang duduk di sebelah brankarku ternyata adalah Pak Dio.

“Lha, kenapa Bapak yang di sini?” tanyaku.

Pertanyaanku membuatnya geli. “Memangnya kamu berharap siapa yang ada di sini?”

Lihat selengkapnya