Tanpa sepengetahuanku, Pak Dio sengaja mengulur waktu. Dengan alasan menemui dokter, rupanya ia mengutus rekannya untuk menemui Mbak Iswari di rumah. Kakak iparku itu kemudian menelepon Kakak, yang kemudian janjian untuk bertemu di rumah sakit.
Mbak Iswari memaksa agar aku mengikuti anjuran dokter untuk cek lab karena sudah demam selama tiga hari. Aku keberatan karena khawatir itu akan membuatku dirawat lebih lama. Namun, sebagai wali, Kakak berhak membuat keputusan yang berlawanan dengan keinginanku.
Perawat kesusahan mengambil darahku karena kondisiku yang dehidrasi. Mereka menusuk kedua tanganku demi mendapatkan setabung darah. Kakak akhirnya tahu jika aku belum makan apa pun sejak pagi. Ia membelikan bubur dan menyuruh sang istri untuk memaksaku makan.
Aku tidak bisa menelan semuanya. Rasa mual dan enek itu justru memerintahkanku untuk memuntahkannya. Perawat datang lagi untuk memberiku obat mual dan membersihkan muntahan. Sekitar satu jam kemudian, dokter membawa hasil lab dan menunjukkan bahwa aku terkena tifus. Alhasil, Kakak meminta dokter untuk melakukan rawat inap.
“Kenapa kamu menemui polisi, Ra?” tanya Mbak Iswari. Kami sedang keluar dari UGD dan sedang didorong menuju ruang periksa. Sepertinya Pak Dio yang bercerita padanya jika aku kecelakaan di dekat kantor polisi.
Aku bersandar di kursi roda dengan malas. Tubuhku masih lemas, rasa nyeri juga masih menusuk-nusuk di perut. Selain ketiadaan minat, aku juga tidak punya tenaga untuk menjawab. Energiku sudah habis untuk marah dan protes pada Pak Dio, meskipun hanya lewat pelototan mata.
“Ra, kamu dengar pertanyaan Mbak?” ulang perempuan itu sekali lagi. Emosinya terasa samar-samar di antara bunyi geretan kursi roda. Aku tidak ingin membahasnya dan mengalihkan perhatian pada pemandangan di hadapanku.
Koridor rumah sakit ini lumayan ramai. Kebanyakan dari mereka adalah tenaga kesehatan dan penunggu pasien. Namun, aku sempat melihat tiga sosok mencurigakan saat melewati pintu UGD. Mereka terdiam dalam berbagai posisi. Ada yang berjongkok di sudut, menempel di dinding seperti cicak, sisanya hanya berdiri kaku di depan pintu seperti patung.
Si malaikat benar, tempat ini cenderung aman untukku. Arwah hanya berkumpul di sekitar UGD, mungkin karena di sanalah mereka meninggal. Bisa saja mereka adalah pasien-pasien darurat yang meninggal secara tidak wajar. Kemungkinan itu yang membuat arwah mereka terikat di sini.
Setelah melihat beberapa, aku akhirnya mampu membedakan tanpa harus melihat kabut hitam yang melingkupi mereka. Arwah-arwah itu tidak merespons perubahan di sekitarnya. Mereka terkesan apatis, sama sekali tidak menoleh jika ada gerakan atau orang yang lewat. Mereka hampir selalu terdiam dalam satu posisi dan seakan-akan tidak punya energi untuk melakukan gerakan tambahan. Mereka sedikit berbeda dengan arwah Kakek Sahir yang masih tampak aktif saat melihatku. Aku penasaran, apakah itu karena mereka sadar diri jika diri mereka sudah meninggal?
Kami berbelok dan sesosok makhluk suram menghadang di tengah koridor. Aku segera memejam saat matanya tidak sengaja mengarah ke mataku. Sensasi dingin terasa, menyadarkanku bahwa tubuhku baru saja menembus tubuhnya.
Kami tiba ruang perawatan dan hal pertama yang aku syukuri adalah, aku sendirian di sini. Sendiri dalam arti yang sebenarnya, tanpa pasien lain, tanpa makhluk lain. Kontak mata tidak sengaja di koridor depan menyadarkanku bahwa diriku tidak aman jika lama-lama di sini. Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan untuk selalu waspada terhadap makhluk apa pun yang kutemui.
Mbak Iswari membantuku naik ke tempat tidur. Kak Bara menyusul beberapa menit kemudian sambil membawakan tasku. Setelah perawat meninggalkan ruangan, keduanya berdiskusi tentang siapa yang akan menemaniku di sini.
“Kalian pulanglah. Aku bisa sendirian,” selaku sebelum keduanya mengambil keputusan.
Hanya tatapan tajam dan galak yang aku terima. Pasangan itu kembali berunding tanpa mengindahkan pendapatku. Keduanya tampaknya punya agenda penting malam ini sehingga dialognya tampak begitu serius.