Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #13

Bab 13

“Orang itu sepertinya mencari-cari sesuatu. Ia membongkar meja obat dan juga barang-barang di lantai. Saat tidak ketemu, ia lalu melihatmu yang sedang mengigau karena mimpi buruk. Orang itu langsung mengambil bantal dan membekapmu. Aku berusaha menolong, tetapi…”

Si malaikat berhenti bicara sambil memandangi kedua tangannya yang diangkat setara perut. Aku memahami maksudnya. Tanpa sentuhan, ia tidak akan mampu melakukan apa-apa.

Matahari pagi ini bersinar cerah. Binarnya menelusup masuk lewat jendela dan membuat ruanganku berlimpah cahaya. Kak Raka sedang di kamar mandi, guyuran air terdengar dari balik pintu. Ia yang menemaniku semalaman di sini. Setelah peristiwa itu, niatku untuk sendirian di rumah sakit menjadi pupus.

Aku sendiri sudah cukup tenang meski semalam tetap saja mimpi buruk. Dengan asupan makanan, obat, dan tambahan infus, demamku turun. Meski begitu, mual masih terasa dan kepalaku juga nyeri akibat pendarahan kemarin.

“Apa kamu mencemaskanku?” tanyaku iseng pada si malaikat.

“Tidak,” sahutnya cepat, terlalu spontan hingga membuatku sebal.

Keningku mengerut, gerakan bibirku mengejek. “Jika tidak cemas, kenapa kamu mencoba menolongku?” sindirku.

Belum sempat sosok itu menyahut, pintu kamarku dibuka. Mbak Iswari muncul sambil membawa banyak barang. Ia tampak kerepotan dan itu membuatku makin tidak nyaman.

“Hai, Ra. Gimana kabarmu?” sapanya dengan raut lelah. Ia meletakkan barang-barang di sofa kemudian menoleh ke kamar mandi. “Kakakmu sedang mandi?”

Aku mengiakan singkat, kemudian menutup mata. Berpura-pura tidur adalah satu-satunya hal yang terpikir olehku agar terhindar dari obrolan. Karena itu, aku terus memejamkan mata hingga Kak Bara berangkat kerja.

Suasana sepi, Mbak Iswari tidak bersuara. Aku mengintip diam-diam dan melihatnya fokus di laptop. Aku pun memandang jendela dengan sorot jemu. Ah, membosankan sekali. Hanya bisa berbaring dengan posisi kaku. Jika aku menggeliat atau menunjukkan diriku dalam kondisi sadar, Mbak Iswari pasti akan mengajakku mengobrol.

Si malaikat masih berada di ruangan. Tumben ia masih memperlihatkan diri ketika ada orang lain yang bersamaku. Biasanya makhluk itu langsung menghilang. Kali ini, ia memperhatikanku dengan raut mengejek. Tampaknya, ia senang sekali melihatku sengsara seperti ini. Aku balas melotot, berusaha mengusirnya dengan berbagai ekspresi.

Tiba-tiba ia melirik Mbak Iswari dengan raut penuh minat. Aku curiga, berusaha melarangnya. Namun, si malaikat tetap bandel. Ia malah mendekati kakak iparku itu.

“Kenapa, Ra?” tanya Mbak Iswari, beberapa gerakanku menghasilkan derit di ranjang dan menarik perhatiannya. Akhirnya, sekarang ia tahu jika aku sudah terbangun.

Aku menggeleng, berusaha menjaga raut wajah. Namun, si malaikat terus berulah. Ia menunduk di belakang perempuan itu, meniup-niup leher belakangnya.

Raut Mbak Iswari tampak menegang. Gesturnya berubah kaku. Ia melihat sekeliling dengan gugup lalu mengusap tengkuk. “Kok mendadak dingin ya, Ra? Ini suhu AC-nya berapa sih?” tanyanya sambil melirik layar remote.

Si malaikat maut terkikik tanpa suara, kemudian mencoba mengulang kenakalannya. Aku mendelik, berusaha melemparkan ancaman untuknya. Sayangnya, peringatan apa pun tidak akan berhasil untuknya. Ia hendak kembali meniup tengkuk kakak iparku. Syukurnya tingkahnya terhenti karena tiba-tiba saja, pintu diketuk.

Mbak Iswari terkejut bukan main. Terlalu syok hingga remote di tangannya sampai terlepas. Tampaknya, ulah si malaikat membuatnya ketakutan luar biasa. Aku jadi kasihan melihat wajahnya yang memucat.

Kepanikannya baru mulai agak mereda ketika ketukan tersebut terulang. Ada manusia lain yang hendak masuk ke ruangan. Perempuan itu pun buru-buru bangkit untuk membuka pintu. Rupanya Pak Dio. Petugas itu langsung melayangkan pandang padaku begitu celah pintu melebar. Kehadirannya membuat wajahku masam. Aku masih kesal karena pengkhianatannya kemarin.

Mereka bertegur sapa. Dari obrolan singkat keduanya, aku tahu jika Mbak Iswari yang menghubunginya perihal kejadian semalam.

“Kamu baik-baik saja?” tanya petugas itu.

Aku memutar bola mata, lalu berkata. “Saya akan lebih baik-baik saja jika tidak menginap di sini,” sindirku.

Ia menyunggingkan senyum kecil. “Maafkan saya, tetapi kondisi kamu tidak memungkinkan untuk pulang kemarin,” katanya. “Kamu melihat wajah orang itu?”

Pertanyaan itu membuat sebelah alisku menaik. Mana aku bisa melihat wajah si penyerang sementara mukaku sendiri ditutup bantal?

Lihat selengkapnya