Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #14

Bab 14

Siapa kira-kira yang ingin membunuhku?

Tentu saja aku tidak tahu. Dua puluh tahun lebih hidup, aku tidak yakin pernah menyakiti seseorang sampai orang itu merasa perlu menghabisi nyawaku. Mungkin kelakuan atau omonganku pernah membuat orang tersinggung, tetapi orang macam apa yang rela melakukan dosa besar hanya untuk membuatku mati?

Pertanyaan itu tentu tidak terjawab sampai akhirnya aku keluar dari rumah sakit. Aku bernapas lega karena bisa kembali ke kamarku sendiri. Aku bisa melakukan apa saja tanpa perlu merasa rikuh. Aku juga tidak perlu merepotkan siapa-siapa. Meskipun sempit, hanya ruangan ini yang membuatku merasa memiliki privasi.

Demam sudah sepenuhnya turun, tubuh juga membaik meski masih cepat lelah dan sempoyongan. Bebat di kepala sudah dilepas, tetapi perban kecil masih menempel di bekas jahitan. Dokter bilang aku menderita gegar otak ringan dan mungkin akan merasa pusing selama beberapa hari. Aku juga disarankan mengurangi itensitas menggunakan gawai dan aktivitas berat.

Larangan itu hanya bisa aku ikuti selama beberapa jam awal. Setelahnya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka laptop dan ponsel. Saldo akhir rekening memaksaku untuk segera lanjut mencari pekerjaan.

Lelah mencari lowongan pekerjaan baru, aku memeriksa kasus Kakek Sahir di internet. Tidak banyak perkembangan yang aku dapatkan. Selain mulai mereda, beritanya tergantikan oleh hal-hal viral lainnya.

“Mereka belum mem-publish hasil penyelidikan ternyata,” gumamku saat membaca berita dari salah satu media online. Di sana hanya dikatakan bahwa hasil lab menunjukkan bahwa muntahan kedua lansia mengandung racun dalam jumlah yang banyak. Polisi belum memberi klarifikasi lebih lanjut tentang seberapa jauh mereka berhasil mengungkap motif maupun identitas pelaku.

Dering ponsel mengalihkan perhatianku. Dari Sari. Perempuan itu mempertanyakan tentang ponselku yang mati selama berhari-hari. Setelah puas memaki, ia mengajakku datang ke sebuah job fair esok hari.

Ia menyebutkan lokasi acara, di sebuah gedung pemerintahan pusat kota. Aku memeriksa informasi lengkapnya di web yang disebutkan Sari sambil berpikir. Kakak, melalui Mbak Iswari melarangku keluar rumah setidaknya sampai kondisiku membaik. Namun, besok mereka akan kerja, tidak bisa mengawasiku. Aku bisa kabur beberapa jam di siang hari. Aku menyetujui usul Sari dan kami pun berjanji bertemu di tempat pada pukul sebelas siang.

“Kamu bandel ya,” komentar seseorang. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa itu. Hanya ia yang punya akses masuk ke kamarku tanpa persetujuanku.

Si malaikat maut tidak tampak di mana-mana. Aku pun enggan mencari keberadaannya, sadar jika ia akan muncul di tempat yang tidak terduga.

“Emang kenapa? Mau mengadukanku?” tantangku. Hening, sosok itu tidak menjawab. Aku pun berdecak, lanjut mencela. “Kamu tidak bisa memberiku uang, jadi nggak usah cerewet.”

“Orang itu bisa muncul di mana saja dan membunuhmu.”

Aku menguap, bosan. “Yah, kan enak, kamu dapat teman. Aku juga bisa memukulmu.”

Terdengar decakan heran. “Kamu memang tidak ada takut-takutnya ya?”

Aku mengabaikannya, lanjut mengisi data di laman job fair tersebut.

“Sama sekali tidak penasaran, siapa pelakunya?”

Kali ini, pertanyaannya membuatku lelah. Aku memutar kursi, mencari-cari keberadaannya. Sosok itu menempel di poster Lana Del Rey yang aku cetak seukuran 10R. Mukanya yang menyebalkan menggantikan wajah Lana, membuat gambar itu lebih mirip meme Wikipedia ketimbang poster artis.

“Jangan rusak wajah Lana-ku!” teriakku kesal sambil memukulnya dengan sapu. Tawanya berderai dan ia melesat dengan segera dari poster sebelum dihantam alat pembersih itu. Ah, sialan. Gampang sekali makhluk itu merusak suasana hatiku.

Lihat selengkapnya