Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #15

Bab 15

Selama beberapa hari kemudian, aku dikurung di rumah. Dua hari pertama aku habiskan hanya untuk tidur. Paruh awal hari ketiga juga masih terbuai dengan kasur. Bunyi ponsel berdenting silih berganti, menandakan panggilan dan pesan masuk. Si malaikat maut datang dan pergi. Matahari naik dan turun. Semua yang ada di sekitarku bergerak sesuai dengan yang seharusnya. Aku abai dengan semuanya, berusaha menikmati hukuman ini.

Namun, rasa jenuh mulai datang di pukul tiga sore. Mataku melek segar, kasur pun jadi terasa menjemukan. Duduk di depan laptop, tidak ada informasi baru. Televisi hanya menanyangkan kartun yang diulang-ulang. Mendengarkan musik, semua lagu malah menambah pusing kepala. Hendak mengunyah, tapi jatah makan siang dan camilan habis. Akhirnya, aku mengintip ke pagar depan lewat jendela, menyaksikan dengan iri kemerdekaan para penjual bakso dan es doger yang bebas berkeliaran menjajakan dagangan mereka.

Kelamaan, aku bosan dan akhirnya beralih ke pintu belakang. Duduk di halaman rasanya lebih menyenangkan, ada dedaunan hijau dari tetangga sebelah yang bisa aku nikmati. Namun, aku lupa jika Mbak Iswari juga menguncinya. Aku kesal, lalu menendang pintu.

“Kasihan. Sudah bisa melihat roh, miskin, sekarang jadi tahanan pula. Ck ck ck ck.”

Aku melirik ke sudut ruang tamu. Lewat ekor mata, si malaikat tampak sedang menatapku dengan wajah mengejek. “Memangnya kamu sendiri bukan tahanan? Hanya bisa muncul di sekitarku saja,” sindirku.

“Aku bukan tahanan. Aku bebas pergi dari sekitarmu,” katanya.

Sejak lama aku penasaran di mana sosoknya berada jika tidak sedang di dekatku. Si malaikat pun bercerita bahwa ia berada di sebuah ruangan aneh.

“Tidak ada apa-apa tetapi tidak juga kosong. Aku tidak tahu ruangan apa itu. Namun, hanya itu satu-satunya tempat yang bisa aku datangi jika bosan melihat tingkahmu. Di sana, tidak ada apa-apa, hanya ada warna-warni yang bergerak. Biasanya aku hanya berbaring sambil melihat-lihat. Kegiatan yang tampak membosankan mungkin, tetapi aku betah.”

Ceritanya membuatku menyengir sinis. Sebagai makhluk sosial, ia menjemukan karena selalu berkata dan berbuat semaunya. Sebagai makhluk introvert, kegemarannya juga membosankan karena sebatas menonton kekosongan. Oh, bagaimana ada sosok sekonsiten dia sih?

Aku pun mengabaikannya dan masuk ke kamar Mama. Kasur di ruang ini masih empuk meski suasananya sudah berbeda. Aroma Mama sudah benar-benar menghilang dari tempat ini. Udara dipenuhi perpaduan bau kamper dan obat nyamuk. Sprei juga berbau harum, sepertinya baru diganti. Kakak kadang tidur di sini dan ia meletakkan kado pernikahan yang belum sempat mereka buka di sudut kamar.

Aku berjongkok, mengamati tumpukan hadiah yang masih dibungkus itu. Dari bentuk dan ukuran, sepertinya itu berisikan berdus-dus piring dan gelas. Di sudut sana mungkin ada handuk dan yang paling besar, sepertinya itu keranjang bayi. Ah, mereka belum tentu akan punya bayi. Antusias sekali orang itu sehingga memberi mereka peralatan besar macam itu?

Aku penasaran dengan sebuah hadiah yang dibungkus kertas cokelat. Permukaannya kasar dan berserat. Penampilannya begitu estetik, diikat dengan tali berisikan manik-manik. Kado itu ringan, saat dikocok juga tidak terdengar bunyi. Isinya pastilah sesuatu yang lembut.

Hadiah di sini lumayan banyak, mereka tidak akan sadar jika aku membuka salah satunya. Tanganku gatal dan menarik talinya. Bunyi kersak ribut terdengar saat lapisan kertasnya dibuka, mengundang cercaan si malaikat maut karena aku mencuri buka kado orang. Aku tidak peduli, mereka juga mencuri kebebasanku dan mengurungku di kamar. Aku lanjut membukanya dan berharap sesuatu yang spesial.

“Yah, handuk,” keluhku sebal saat melihat isinya. Hanya dua handuk kecil yang digulung dan dua gelas dengan motif serupa. Di tengah-tengah, ada papan kecil bertuliskan ‘Happy Wedding’.

Lihat selengkapnya