Dokumen itu membuka tabir rahasia kelahiran yang selama ini tidak ingin aku ketahui. Semuanya ada di sana, begitu lengkap hingga membuat kepalaku penuh.
Namanya tercetak dengan jelas di sana, beserta alamat lengkapnya. Marsuniah. Pekerjaannya buruh tani dan ia memiliki nomor KTP yang mungkin bisa aku pakai untuk mengajukan pinjaman online ilegal. Ia lahir di sebuah tempat di pulau sebelah, pada tahun-tahun yang menurut sejarah, kudeta Partai Komunis Indonesia terjadi. Jika masih hidup, ia tentu akan berumur enam puluh di tahun depan. Alamatnya sama dengan tempat kelahirannya, yang mungkin berjarak sekitar dua jam dari sini jika menggunakan pesawat terbang.
Namun, yang membuatku heran, kenapa hanya nama perempuan itu yang tercantum di sana? Sama sekali tidak ada nama sang suami. Apakah ia melahirkan anak-anaknya sendirian tanpa suami? Atau, apakah suaminya melarikan diri dengan wanita lain sehingga terpaksa ia cabik dari hidupnya dan sang anak?
Aku tidak tahu, tidak mau tahu. Namun, fakta-fakta itu terus membayangiku. Apalagi kemudian, ada benda lain di dalam amplop, selembar foto yang dimakan usia. Dua bayi perempuan dengan wajah yang sama, satu tersenyum pada kamera, sisanya memberengut marah. Di belakangnya ada tulisan cakar ayam tetapi masih tetap bisa terbaca. Rumiah & Ramiah.
Aku meletakkan kembali surat adopsi itu di tempat semula, seolah takut jika berkas-berkas itu akan mengembalikanku pada ibu kandungku.
*
Sehari berlalu sejak penemuan dokumen itu, aku tidak terpengaruh. Kehidupanku sebagai tahanan rumah tetap membosankan. Aku hanya duduk di pinggir jendela kamar sambil menyaksikan penjual bakso hilir mudik seolah mengejekku di pagar depan.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanya si malaikat maut. Ia duduk di meja belajarku sambil menatapku penuh minat. Sedari tadi, ia muncul hilang muncul hilang dari kamarku tanpa berkata apa-apa.
“Tidak ada rencana apa-apa,” sahutku. Dokumen itu sudah aku kembalikan ke tempatnya, begitu juga lemarinya. Kakak tidak akan sadar jika aku pernah menemukannya. Yah, jika ia tahu jika ada benda semacam itu di sana.
“Tidak ingin melacak asal usulmu?”
“Untuk apa?”
Si malaikat berdecak. “Kadang ada orang yang begitu penasaran dengan masa lalunya sampai harus menyewa detektif untuk mencari tahu. Sementara kamu, fakta sudah sejelas itu di depan mata, tetapi malah diabaikan.”
“Aku tidak berminat,” sahutku tak acuh. Si malaikat berdecak, sorot matanya mengecam. Aku tidak menghiraukannya dan ia kembali menghilang.
Hari berlangsung membosankan seperti biasa, hingga pesan itu tiba.
Jara, saya ingin membicarakan sesuatu. Apa kamu di rumah?
Datangnya dari Pak Dio. Lama aku menimbang, apakah hendak menjawab atau tidak pesan ini. Aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa. Namun, aku penasaran tentang apa yang hendak disampaikannya. Apakah ini berhubungan dengan kasus Kakek di sebelah? Aku sudah lama tidak mengikuti beritanya, entah sudah sampai mana.
Aku membalas. Iya. Ia pun berkata akan mendatangiku.