Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #17

Bab 17

“Kamu jadi saksi kasus pembunuhan tetangga sebelah?” seru Kakak dengan nada meninggi. Ia uring-uringan, menggaruk kepala sambil mendengus-dengus. Saat rasa gerah di dadanya tidak juga tersalurkan, ia pun kembali membentakku.

“Kenapa kamu suka sekali mencari masalah, hah? Tidak bisakah kamu hidup biasa-biasa saja tanpa melakukan sesuatu yang beresiko begini? Sekarang, bagaimana jika pembunuh itu mengejarmu terus? Apa kamu kira aku bisa melindungimu selamanya?”

Aku hanya duduk diam di ruang tamu dengan wajah beku. Entah sudah keberapa kalinya sofa hijau lumut ini menumpu tubuhku yang kaku saat menerima amukan kemarahan Kakak. Ia menjadi saksi yang setia mendengar, tanpa sekalipun berderit atau bergerenyet.

Pak Dio berdeham. Sedari tadi, ia duduk di antara kami dan melihat bagaimana aku diomeli oleh kakak angkatku. Rasa bersalah dan prihatin tersirat di rautnya secara bergantian.

“Pak Bara, maaf jika saya menyela. Saya yakin, Jara tidak bermaksud mencari masalah. Adalah kewajiban seorang warga negara untuk memberikan informasi kepada aparat terkait kasus-kasus kejahatan seperti ini. Ia hanya menyampaikan hal-hal yang diketahuinya pada kami. Perihal kasus penyerangan di rumah sakit kemarin, saya dan atasan juga sedang menyelidikinya. Saya harap, Pak Bara tidak memarahi Jara berlebihan. Kami akan bekerja dengan lebih keras agar kasus ini segera terungkap, jadi keselamatan Jara tidak akan terancam.”

Mbak Iswari menarik tangan Kakak, berusaha membujuknya untuk duduk. Perempuan itu juga menyampaikan ucapan terima kasih pada Pak Dio dengan terbata. Ia cemas dan takut seperti Kak Bara, tetapi berusaha tetap tenang agar bisa mengimbangi kemarahan sang suami.

“Saya akan memberikan format permohonan perlindungan saksi untuk Jara. Nanti saya kirimkan. Semoga nanti disetujui agar Jara, Bapak, dan Ibu Iswari lebih tenang,” lanjut Pak Dio.

“Iya, terima kasih ya, Pak. Semoga disetujui, jadi Jara ada yang melindungi,” sahut Mbak Iswari.

Bunyi jingle es krim terdengar lewat di depan rumah, bersamaan dengan deru motor. Kemudian, ada juga teriakan anak-anak dari kejauhan. Selebihnya, hening. Tidak ada yang berani bicara. Aku apalagi. Dari awal kedatangan Mbak Iswari, hingga kepulangan Kak Bara yang tergesa karena ditelepon sang istri, aku hanya mematung.

Pak Dio lagi-lagi melirikku dan mengirimkan semangat saat mata kami bertemu. Tampaknya, sekarang ia paham kenapa saat di rumah sakit tempo hari, aku tidak ingin melibatkan kakakku. Amarah yang aku terima melebihi rasa sakit yang aku rasakan.

Dering ponsel terdengar, asalnya dari saku petugas itu. Setelah menjawab telepon, ia pun bergegas pamitan. Mbak Iswari mengantarnya ke pagar, sementara aku ditinggal berdua dengan Kakak di ruang tamu.

“Kamu benar-benar kelewatan. Aku lelah mengurusmu, kamu selalu membuatku dalam masalah,” kata lelaki itu dengan nada berat. Lewat ekor mata, aku melihatnya menunduk sambil memegang kepala.

Mbak Iswari muncul, langsung menghampirinya menawarkan obat. Lelaki itu menepis tangannya dan kemudian bangkit. Padaku, ia berkata, “Sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan, aku tidak mengizinkanmu keluar rumah. Setidaknya sampai penjahat itu tertangkap. Kamu tidak usah mencari pekerjaan, semua kebutuhanmu tersedia di rumah ini.”

“Mas, kita tidak bisa mengurung Jara selamanya,” sela Mbak Iswari.

Lelaki itu membentaknya. “Lalu maumu apa? Membiarkannya keluar sementara pembunuh itu berkeliaran di luar sana? Jika terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan bertanggung jawab?”

Mbak Iswari tercekat, suara yang hendak keluar dari mulutnya kemudian tertelan lagi bersamaan dengan napas yang berat.

“Aku yang akan disalahkan, Is. Aku,” lanjut Kakak. “Om, Tante, bahkan Mama di alam baka pasti akan menyalahkan aku. Mereka menitipkan dia padaku. Sekarang kamu tahu seberat apa tugasku, sebesar apa bebanku mengurus adik pembuat masalah seperti dia.”

Tidak ada sahutan berarti dari Mbak Iswari. Perempuan itu terdiam. Aku lega melihatnya tidak lagi membantah Kak Bara. Jujur, aku lebih suka jika kakak iparku itu diam dan tidak memperpanjang perdebatan. Aku tidak butuh dibela. Lagi pula, Kak Bara bukan tipe orang yang bisa dinasehati. Pola pikirnya tentangku sudah bulat dan tidak bisa diubah. Selamanya, ia akan menganggapku sebagai beban dan tugas. Padahal, jika ia keberatan dengan tugas itu, kenapa tidak melepaskannya saja. Aku sudah dewasa, tidak perlu lagi diurus apalagi dibatasi.

Namun, ia selalu menganggap dirinya sebagai kakak yang bertanggung jawab, harus mengemban tugas itu seumur hidup padahal tidak ada yang memintanya begitu. Ocehan Om dan Tante hanya sekadar nasehat basi orang tua. Sementara Mama sudah tiada, sudah memberikan warisan atas namanya. Tidak akan ada sanksi apa-apa dari Mama jika Kak Bara melepaskanku.

Hidup berpisah tanpa hubungan adalah hal terbaik bagi kami berdua. Aku heran kenapa Kak Bara tidak pernah memikirkan kemungkinan ini.

“Jadi, Ra, keputusanku sudah bulat. Aku tidak membiarkan kamu keluar untuk beberapa lama. Kamu hanya boleh keluar jika bersamaku atau Iswari,” kata Kak Bara. Pada sang istri, ia berkata, “Is, pastikan kunci rumah dan gerbang saat pergi. Jika kamu tidak sempat pulang saat makan siang, siapkan saja makanan lebih sebelum berangkat. Atau, kamu belikan bahan saja. Biar Jara mengurus makanannya sendiri.”

Seusai membuat keputusan, ia pun kembali keluar rumah. Mbak Iswari masih mengejarnya, berusaha membuat kesepakatan. Pertengkaran mereka terdengar hingga ruang tamu dan diakhiri dengan isak sang istri. Aku malas mendengarkan drama rumah tangga itu, akhirnya masuk ke kamar dan mengunci pintu.

*

“Sekarang, apa yang akan kamu lakukan?” tanya si malaikat maut begitu aku merebahkan diri di kasur. Tampaknya, ia mencuri dengar percakapan kami di ruang tamu.

Lihat selengkapnya