Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #18

Bab 18

Sejak kapan pembangkangan itu dimulai? Entahlah. Yang jelas, sependek ingatanku, aku tidak pernah suka jika ada orang yang menghentikan kesenanganku.

Aku suka memanjat, tetapi Mama bilang berbahaya. Aku suka meloncat, Tante bilang kakiku bisa patah. Aku suka makan, Om bilang nanti gemuk saat dewasa.

Semua hal yang aku suka dilarang hanya karena ketakutan yang tidak beralasan. Aku nekat, mencobanya sekali dua kali meskipun kena marah. Ketika musibah itu tidak pernah terjadi, aku pun terbiasa melakukannya di belakang secara diam-diam. Entah itu diomeli atau dihukum, kemarahan orang dewasa akan mereda suatu saat nanti.

Namun, berbeda dengan Kakak. Ia bukan tipekal pemaaf. Setiap dendam dan kenakalanku menambah satu setrip dendam di hatinya. Ia bukan orang dewasa yang dengan mudah melupakan. Karena itu, lebih baik aku kabur darinya.

Aku melintasi halaman belakang dengan cepat dan memanjat tembok. Pengalaman kemarin membuatku bisa melewati pagar beton itu dengan mudah. Seorang kurir paket yang sedang berhenti di rumah seberang menoleh tepat saat aku mendarat di halaman rumah Kakek Sahir.

Kurir itu terus memperhatikanku. Tatapannya terasa di punggung saat aku melintasi halaman. Tidak mengherankan jika kelakuanku mengundang perhatian. Memasuki halaman rumah yang viral karena kasus pembunuhan, syukur kurir itu tidak meneriakiku.

Sesampainya di kursi reyot, iseng aku memastikan. Sang kurir masih memperhatikanku. Ia turun dari motor dan bergerak menuju pagar. Posisi berdiri membuatku bisa melihat penampilannya secara keseluruhan. Kaki-kaki yang super panjang, menunjang tubuh kurusnya hingga setinggi hampir dua meter. Ia mengenakan helm full face, membuat sebagian wajahnya tertutup. Namun, sorot mata itu terlalu ekstrim untuk disembunyikan.  

Aku membeku. Potongan gambar CCTV di rumah sakit terlintas di benak. Mereka memiliki postur yang sama, penyerangku, pengunjung misterius rumah korban, dan juga kurir ini. Tersangka juga akan selalu kembali ke tempat kejadian perkara. Sebelum aku sepenuhnya sadar, orang itu sudah bersiap melompati pagar depan Kakek Sahir.

Aku terkesiap, spontan melompati tembok di depanku dan melontarkan tubuh ke arah halaman rumah kosong. Saat kakiku menjejak tanah, sisa-sisa semak yang masih rebah di sekitar membuatku paham satu hal. Anjing-anjing peliharaan di komplek perumahan ini rata-rata dikurung dalam rumah, hanya keluar dalam kondisi terikat. Sementara kucing, tubuhnya terlalu kecil untuk membuat tumbuhan liar serimbun ini agar bisa patah. Artinya, bukan binatang yang membuka jalan di sini. Ada manusia lain yang sudah mendahuluiku menemukan jalan keluar dari rumah korban tanpa takut ketahuan.

Lihat selengkapnya