Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #19

Bab 19

“Oke, sekarang kamu mau ke mana?” tanya si malaikat maut. Ia mengikutiku melompat dari tembok. Kami mendarat di semak-semak pinggir perkampungan.

Jika orang itu benar-benar bekerja sebagai pengantar paket, maka ia pasti mengenal daerah ini dengan baik. Lambat laun, ia akan menemukanku di salah satu sudut gang. Tidak ada cara lain, aku harus pergi jauh. Aku pun bergegas menyusuri jalur beraspal yang bolong di sana-sini itu untuk mencari jalan besar.

Suasana sumpek terasa saat aku memasuki kawasan perumahan. Tali jemuran saling silang di depan rumah warga. Gang kecil itu penuh oleh anak-anak dan sepeda motor yang berseliweran. Obrolan orang-orang di dalam masing-masing rumah saling bersahut dengan tetangga, seolah-olah mereka sedang bergosip dengan disekat tembok tipis.

Di salah satu ruas jalan besar, aku naik sebuah mikrolet. Mobil angkutan itu berjalan lambat, sementara mataku mengawasi sekitar. Arus lalu lintas sangat ramai, si pengantar paket tidak kelihatan. Kejadian tadi membuat tingkat kewaspadaanku berada di level tertinggi sehingga tidak juga bisa tenang meski sudah beberapa kilo meter meninggalkan rumah.

“Bagaimana rencanamu sekarang?” tanya si malaikat maut, kepalannya muncul dari atas mobil, hampir membuatku memekik. “Kamu harus pergi ke tempat yang jauh agar orang itu tidak bisa mengejarmu. Bagaimana jika ke kota ‘itu’?”

Si malaikat menyebut kata terakhir dengan penuh penekanan. Membuatku paham kota mana yang ia maksud. Rasa enggan membuatku menggeleng. Tidak, aku tidak ingin menemui perempuan yang namanya tercatat di surat adopsi.

“Jika tidak ingin bertemu ibu kandungmu, kamu bisa mencoba melihat kembaranmu dari jauh. Umur orang tidak ada yang tahu. Ia seharusnya meninggal beberapa minggu lalu. Kematian itu mungkin bisa ditunda, tetapi tidak akan bisa dihentikan. Kamu tidak penasaran dengannya?”

Perkataan si malaikat membuatku terpaku. Aku melupakannya, si bayi yang entah bernama Ramiah atau Rumiah itu. Orang yang seharusnya mati saat si malaikat magang salah menjemputku. Kira-kira, apa kabarnya? Apakah ia masih hidup?

Tanda tanya itu perlahan muncul di kepala, mengubah perasaanku seperti setitik pewarna pada segelas air. Seketika rasa penasaran itu muncul dan menggiring tanganku untuk mengambil ponsel di saku jaket. Kuketik nama kota itu dan Google pun menyediakan pilihan alat transportasi untuk menjangkaunya.

Pesawat, dua jam perjalanan, tetapi harganya tidak masuk akal. Kereta, jalurnya terputus oleh laut dan aku tidak yakin di kota itu memiliki alat transportasi ini. Satu-satunya cara yang tersedia adalah dengan bus.

Harganya setengah kali harga pesawat, tetapi menghabiskan satu hari perjalanan. Sepertinya tidak masalah, setelah pelarian panjang tadi, aku butuh tidur sepanjang malam. Sisanya bisa dihabiskan untuk berpikir ulang. Jujur, aku belum punya rencana yang nyata saat memutuskan perjalanan impulsif ini.

Lihat selengkapnya