Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #20

Bab 20

Kota ini jauh lebih kecil dibanding tempat yang kutinggali. Aku masih harus menghabiskan tiga jam perjalanan tambahan setelah sampai di PO bus. Syukurnya, rute alat transportasi darat di pulau ini jelas sehingga aku tidak kesusahan untuk mengikutinya.

Sebuah kota di dekat pantai. Suasananya menyenangkan tetapi sayang panas. Keringat mengucur dan tidak jua mau kering meski sekitar banyak angin. Aku sudah melepaskan jaket, menggunakan pakaian itu sebagai kipas tambahan.

Mayoritas rumah di sekitar sini masih autentik zaman dahulu. Model-model rumah Belanda dengan langit-langit yang rendah. Dinding putih tulang, jendelanya lebar, dengan kosen kayu tebal bercat gelap. Jendelanya dilengkapi penutup semacam pintu kayu kecil yang bisa dibuka ke arah luar. Jalanan super lebar, aku tidur di bahunya pun tidak akan terlindas. Tidak ada macet, tidak ada klakson melengking yang tidak sabaran. Kendaraan di sini melintas lancar tanpa hambatan.

“Kota ini panas sekali. Menurutmu bagaimana?” tanyaku pada si malaikat. Kami berdiri di pinggir jalan, baru diturunkan oleh mini bus bercat cokelat dengan bau solar menyengat. Ah, berjam-jam di kendaraan bising itu membuatku pusing. Ditambah matahari terik ini, aku ingin segera mengguyur tubuh.

Si malaikat terpaku, memantau sekeliling. “Entahlah, aku belum merasakan apa-apa.”

Kata ‘apa-apa’ itu membuatku berjengit. Mungkin maksudnya adalah aura arwah penasaran dan segala hal berbau mistik itu. Lagi pula, salahku menanyakan cecap duniawi pada sosok yang tidak punya indera peraba.  

“Aku harus segera mencari tempat untuk tidur, sebentar lagi gelap,” gumamku sambil kembali melihat berkeliling. Sebuah hotel di kejauhan, plang namanya menjulang mencari perhatian. Aku harus segera mencari tempat untuk tidur, sebentar lagi gelap. Akan tetapi, sewa hotel biasanya mahal. Aku harus mencari alternatif yang lebih murah demi bertahan hidup.

Aku melangkah menyusuri trotoar sambil memeriksa setiap plang nama yang kutemukan. Dari seorang ibu warung yang ada di ujung jalan, aku mendapat rekomendasi sebuah rumah kos. Sayangnya, tempat itu kosongan. Tidak ada kasur, apalagi lemari. Aku pun kembali bertualang untuk mencari tempat untuk tidur malam ini.

Di salah satu sudut jalan yang berhadapan langsung dengan pantai, aku menemukan sebuah losmen. Dari luar, gedung itu tidak ubahnya rumah penduduk biasa. Beberapa gerobak pedagang mulai berjajar menawarkan makanan. Aku memperhatikan dagangan mereka sambil lalu. Aromanya menggiurkan, penampilannya juga lumayan menarik selera.

Aku memasuki bagian losmen dan menanyakan harga kamar. Tarifnya tidak terlalu mahal menurut kantong kotaku, meski akan memberatkan juga jika aku tinggal selama berminggu-minggu. Namun, karena kepepet, aku ambil satu kamar selama dua hari terlebih dahulu. Mungkin besok, aku bisa survei tempat lain agar mendapat kamar yang lebih pantas.

Pemilik losmen adalah seorang nenek tua berwajah ramah. Nenek Ida namanya, rambutnya sudah memutih tetapi tangannya sangat cekatan dalam menghitung uang. Ia memberiku kunci di kamar ujung dan ketika memasuki ruangan, aku baru sadar kenapa harga kamarnya murah.

“Benar-benar mirip kamar Noni Belanda. Apakah benar ada ‘Noninya’?” tanyaku. Langit-langit rendah, jendela berbingkai tebal, dengan teralis. Tirau warna putih, melambai-lambai ditiup angin. Ranjangnya berupa dipan kayu polos, lantainya ubin berpola bunga yang warnanya, samar antara antik atau kusam.

“Ada satu di halaman belakang,” sahut si malaikat.s

“Ngapain dia di sana?”

“Manggang sate?”

Jawabannya membuatku tergelak. entah“Oke, kamu bergabunglah dulu dengannya. Aku mau mandi. Jangan muncul jika tidak kupanggil.”

Si malaikat mendengus, lalu pergi menembus tembok. Aku mengunci pintu dan masuk kamar mandi. Guyuran air membasahi tubuh, meninggalkan rasa segar setelah dua hari tidak mandi. Aku membasuh tubuh berkali-kali, mengeramasi rambut. Semua kotoran dan rasa penat itu harus dijauhkan, meluruh ke air bersamaan dengan dosa-dosaku karena sudah menjual perhiasan Mama.

Seusai mandi, aku berbaring di ranjang. Tubuh segar, perut kenyang, dan kasur yang lumayan empuk. Perpaduan ini membuatku mengangut. Bahkan, rekam jejak perjalanan dan bahaya yang menerorku dua hari belakangan ini juga tidak mampu membuyarkan kantuk itu. Aku menutup mata, menyerahkan semua rencana dan tugas itu pada diriku di esok hari.

*

Lihat selengkapnya