“Kamu pengecut. Buat apa jauh-jauh ke sini jika tidak siap untuk bertemu dengannya?”
Terserah si malaikat bilang apa, aku terus bergegas menuju losmen. Gerakan kakiku gegas menapak di trotoar. Aroma lezat yang menguar dari panci gerobak soto juga tidak menyurutkan niatku untuk kabur. Aku harus segera sembunyi. Sosok itu, meskipun manusia biasa, ternyata jauh lebih menakutkan ketimbang hantu.
Nenek Ida menyapaku dari toko kelontong kecilnya, mengajakku sarapan. Aku mengabaikannya dan langsung masuk ke kamar.
“Kamu pucat,” kata si malaikat lagi saat aku bersandar di pintu. Ia menunjuk titik-titik keringat di wajahku. “Keringetan, bibir kering, mata melebar, tersengal-sengal. Kamu takut?”
Aku mendelik, merasa terusik dengan segala komentarnya terhadapku. Namun, bukannya menjauh, ia malah makin meledek.
“Kamu itu ya, aneh banget. Saudara dilawan, arwah penasaran ditantangin, pembunuh dipancingin. Tapi sama kembaran sendiri kok takut,” ejeknya.
Cemoohnya, meski benar, tetap saja membuatku sebal. Aneh, kenapa aku begitu gelisah hanya karena bertemu manusia biasa seperti dia?
Sambil menenangkan diri, aku teringat lagi dengan ekspresinya. Sama sepertiku, ia jelas-jelas terkejut. Matanya melebar, kilau di matanya berubah. Namun, ia sangat tenang dan tidak bereaksi berlebih. Sedetik sebelum pergi, aku bahkan sempat melihat kedua ujung bibirnya terangkat. Berbeda denganku, ia sepertinya sudah mempersiapkan diri dengan pertemuan ini.
Aku bangkit, memeriksa kondisi di luar lewat jendela dengan cemas. Tidak ada yang berbeda. Pemandangan sungai di luar sana masih tetap keruh, jembatan di dekat pantai juga menghadirkan lalu lintas biasa. Entah apa yang kuharapkan, yang jelas, aku bingung dengan perasaanku sendiri.
Di sisa hari, aku berdiam di kamar. Panas ini membuatku enggan keluar. Setelah membeli makanan dan air, aku duduk di kasur dan membuka ponsel. Denting demi denting notifikasi langsung menyerbu masuk setelah gawai itu menyala. Kebanyakan pemberitahuan panggilan dari nomor yang diblokir. Mbak Iswari menelepon belasan kali, Kakak hanya dua kali. Mereka pasti syok saat mendapatiku kabur dengan menjebol terali jendela belakang. Aku menggulir layar, sedikit kaget saat melihat ada sekitar sepuluh panggilan dari Pak Dio. Untuk apa polisi itu meneleponku sesering itu?
Bunyi lain masuk, menandakan pesan dari aplikasi. Aku memeriksa dan melihat pesan yang sama dari mereka bertiga. Semuanya bernada cemas, menanyakan di mana keberadaanku. Sebelum mereka menyadari pesannya tercentang dua, aku kembali memblokir nomor ketiganya.
Selama hampir setengah jam, aku memeriksa perkembangan di kotaku. Tidak ada kemajuan berarti dari kasus tetangga sebelah, panggilan wawancara juga tidak ada. Akhirnya aku kembali mematikan ponsel dan berbaring telentang di kasur. Sambil menatap langit-langit, aku bertanya-tanya. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Menjelang siang, si malaikat berteriak memanggil namaku. Aku yang ketiduran, bangun dengan tersengal.
“Jara, bangun. Lihat, dia datang!” katanya dengan semangat. Ia berdiri di jendela, setengah tubuhnya melongok keluar dengan begitu antusias.
Dengan sedikit sempoyongan, aku menghampirinya. Lewat jendela, aku bisa melihat ada tamu di toko kelontong Nenek Ida. Aku tidak melihat wajahnya, tetapi sebagian tubuhnya yang tampak mengingatkanku dengan pakaian perempuan itu di dermaga. Mendadak, aku berubah gugup.
“Sepertinya mereka akrab. Kota ini memang kecil ya,” seloroh si malaikat. Mereka memang bercakap-cakap. Tawanya terdengar hingga ke kamarku.
Sosok itu mundur dan memperlihatkan sebagian wajahnya. Aku sontak mundur dan bersembunyi. Si malaikat kemudian bilang jika ia menoleh ke arah jendela dengan tatapan mencari.
“Dia tahu kamu menginap di sini,” lapor si malaikat senang. Ekspresi itu tampak aneh di wajahnya yang hampir selalu tampak mengejek dan meremehkan.
“Kamu jatuh cinta padanya ya?” cemoohku. Ia tidak peduli, tetap mencuri pandang dan dengar pada percakapan di depan toko.
“Dia mau pergi. Tapi dia menatap lama ke sini. Sepertinya, dia tahu ini kamarmu,” kata si malaikat.
Live report itu memantik perhatianku juga. Aku menunggu selama beberapa lama agar perempuan menjauh, baru kemudian melongok ke jendela. Ia lenyap dari depan toko kelontong, tetapi sosoknya tampak melambai dari arah jembatan. Aku membelalak, spontan kembali bersembunyi seperti tikus yang ketakutan.
*
Sore hari jauh lebih menyenangkan ketimbang siang. Suhu turun dan membuat suasana kota menjadi lebih adem. Aku keluar kamar, berjalan-jalan sambil sekalian mencari makan.
Setelah menyusuri trotoar selama beberapa menit, aku menemukan pasar malam. Ada berbagai lapak, mayoritas penjual makanan. Ada bubur, sate, nasi campur, hingga jagung bakar. Beberapa gerobak menjual makanan khas kota yang terkenal pedas. Pedagang pakaian bekas menggelar dagangan di bawah dengan beralaskan terpal. Hatiku sempat tergoda saat ingat stok yang tipis di ransel. Namun, kondisi kantong tidak memungkinkan berbelanja pakaian.
Pengunjung pasar malam ini ramai, beberapa menyemut di lapak penjual makanan. Anak-anak berlarian, pengamen memainkan alat musik seadanya dengan suaranya yang fals. Lagu anak-anak mengalun dari odong-odong dengan lampu warna-warni. Suasananya menyenangkan, membuatku betah mengamati sekitar.
Aku menghabiskan waktu satu jam di pasar malam itu. Setelah makan dan bosan, aku keluar dan berjalan menuju pantai. Jalanan ramai, aku kesusahan menyeberang. Seorang pengendara motor hampir menyerempet karena terlambat menginjak rem. Seorang bapak-bapak dengan keranjang barang di boncengan belakang. Tumpukan tinggi membuat keranjang itu berat sehingga motornya kehilangan keseimbangan dan terempas ke samping.
Aku terkejut, melompat mundur. Bapak-bapak itu bangkit dan kemudian marah padaku. Ia menggunakan bahasa lokal, kata-katanya tidak mampu aku pahami. Namun, dari nada dan intonasinya, ia pasti memaki-maki.