Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #22

Bab 22

Rami menjemputku pukul sebelas siang. Senyumnya lebar, wajahnya yang polos berseri-seri. Saat melihatku, ia melambai riang dan gembira, mirip anak anjing yang menyambut pulang majikannya.

Ah, aku tidak pernah membayangkan jika saudara kembarku akan menyambutku dengan cara semeriah ini. Perjalananku ke sini tanpa ekspektasi apa-apa dan menganggap tempat ini hanya sebagai tujuan pelarian semata. Namun, berbeda dengan si malaikat. Entah karena seharusnya mereka bertemu dengan cara lain, ia menyikapi kebersamaan dengan Rami dengan cara berbeda.

“Dia jauh lebih menyenangkan ketimbang kamu. Lebih ceria, manis, ekspresif. Beda ama kamu,” cemoohnya.

“Ya ya ya, sekarang aku antar kamu biar tinggal ama dia aja, gimana?” jawabku sambil menawarkan jasa. “Butuh sajen apa biar tuanmu pindah?”

“Cukup jangan jauh-jauh dari dia saja,” sahutnya sambil cengengesan. Aku mendesis, tingkahnya itu membuatku geli bercampur risih.

Kami menuju panti asuhan dengan berjalan kaki. Bayangkan, melangkah di pinggir jalan raya tanpa pohon peneduh, di bawah terik matahari dengan suhu hampir 30 derajat celsius. Panasnya menusuk ubun-ubun, membuat energiku tersedot keluar oleh udara. Rami mentertawakanku, kemudian membelikanku topi di toko yang kami lewati.

Panti asuhan berlokasi sekitar tiga kilo meter dari losmen. Lokasinya di sebuah gang sempit, di dekat lapangan olahraga. Tempat ini berupa bangunan berlantai tiga, dengan halaman sempit di bagian depannya. Banyak anak berkeliaran sambil melakukan tugas. Ada yang menyapu, menjemur pakaian, ada yang membuang sampah. Beberapa dari mereka masih mengenakan seragam dan berkejaran di lorong.

“Ada sekitar seratus tiga puluh anak, dari segala usia. Tugasku di sini membantu Bunda untuk mengasuh dan membimbing mereka,” kata Rami.

Kedatangan kami menyulut perhatian. Anak-anak yang lebih kecil berkerumun, menanyakan pada Rami mengenai diriku. Siapa ini? Kenapa wajahnya sama? Apa itu kembaran, Kak Rami? Anak-anak yang lebih tua hanya mengamati dari jauh dengan wajah ingin tahu. Mereka berbisik-bisik, gosip mereka tampaknya seru sekali karena dibahas dengan wajah antusias.

Aku hanya memasang senyum rikuh, merasa kurang nyaman dengan begitu banyak orang dan perhatian. Syukurnya, Rami langsung mengajakku ke kantor dan bertemu dengan seorang perempuan paruh baya. Sosok itu yang dipanggil Bunda oleh Rami, ia memiliki aura keibuan dan kharisma yang khas. Senyumnya ramah, sorot matanya bersahabat.

“Jara, mau menginap di sini? Tinggallah di sini untuk beberapa waktu, agar Rami ada temannya,” kata Bunda setelah kami berbincang selama beberapa lama. Tawaran yang lumayan menggiurkan untuk diriku yang tidak punya tempat tujuan. Aku mengiakan dengan pelan.

Rami kemudian mengajakku ke kamarnya. Sebuah ruangan sempit, hanya berisikan kasur yang cukup untuk dua orang, lemari kayu, dan meja belajar kecil. Langit-langitnya tinggi dengan jendela kecil, tanpa kisi-kisi. Teralisnya bercat putih, mengingatkanku dengan benda sama yang aku bobol di rumah. Kamar kecil ini terasa sumpek, aku merasa gerah dan akhirnya melepaskan ransel.

“Aku dapat kamar sendiri. Yang lain rata-rata sudah suami istri, hanya aku yang belum menikah,” katanya sambil duduk di ranjang. “Kamu punya pacar?”

Pertanyaannya begitu tiba-tiba, membuatku mengerut geli.

“Aku tidak punya, padahal ingin punya. Sepertinya, tidak ada yang mau dengan orang cacat sepertiku,” lanjut Rami. Nadanya masih ceria, meski begitu aku menemukan sedikit kekecewaan di sorot matanya.

“Tanganmu… kenapa?” tanyaku ragu. Sedari kemarin, aku penasaran kenapa ia bisa kehilangan lengannya.

Ia melipat lengan baju kirinya, memperlihatkan ujung sikunya yang putus. Pemandangan itu membuatku mengerang karena ngeri.

“Kanker tulang, diamputasi saat umur sembilan,” katanya. “Jangan memandangku dengan wajah begitu, kamu tidak perlu kasihan padaku. Aku punya banyak masalah kesehatan sejak kecil, jadi akan habis rasa kasihanmu jika semua diberikan untukku,” candanya saat melihat perubahan air mukaku.

Kelakar itu tidak membuatku tertawa. Sebaliknya, aku malah merasa tidak nyaman. Terlalu rikuh membuatku salah tingkah. Mataku bertemu dengan si malaikat. Si malaikat maut berdiri di dekat lemari, mendengar pembicaraan kami dengan raut penuh empati.

“Ayo, duduk sini!” lanjut Rami. “Aku ingin mendengar ceritamu. Bagaimana keluargamu yang baru? Apa mereka baik?”

Antusiasnya mendengar itu tidak sepadan dengan semangatku bercerita. Kondisi keluargaku bukan sesuatu yang patut dibanggakan, setidaknya setelah Mama meninggal. Hal itu juga tidak patut untuk diceritakan, sehingga aku mengalihkan perhatiannya.

Lihat selengkapnya