Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #23

Bab 23

Rami masih tertawa. Aku tidak menunggu hingga gelaknya usai, kemudian pamitan ke untuk mandi. Seharian di dapur membuat tubuhku bau minyak. Udara yang gerah dan pengap ini tidak nyaman. Sepertinya, tidak hanya bekerja di panti asuhan, kota ini juga tidak cocok untukku.

Beberapa anak berkumpul di dekat tempat cuci piring, samar-samar gunjingan mereka sampai di telingaku.

“Dia gila, suka ngomong sendiri,” kata anak perempuan paling tinggi.

Anak lain menimpali. Aku mengingat tahi lalat besar di hidungnya, kami bertugas bersama di dapur sore ini. “Iya, aku dengar sendiri dia marah-marah saat masak,” katanya.

“Tapi Kak Rami juga suka ngomong sendiri.”

“Apa karena keturunan ya? Saudara kembar punya kebiasaan yang sama.”

“Tapi Kak Rami tidak sejudes dia. Dia tidak mau ikut mencuci popok.”

Gosip mereka begitu seru, hingga aku tidak tega merusaknya. Aku pun berjingkat-jingkat ke kamar mandi agar tidak memancing perhatian. Mereka tampak menikmati perbincangan tersebut dan aku juga tidak keberatan jadi objek.

Seorang anak menghampiriku saat selesai mandi. “Ada yang mencari Kakak di depan,” katanya.

“Siapa?”

Anak itu menggeleng, ia memberitahuku untuk segera menuju ruang penerimaan tamu. Bunda dan Rami katanya sudah berada di sana. Setelah meletakkan peralatan mandi, aku menghampiri tamuku.

“Kakakmu di sini,” kata Rami.

Aku tidak sempat untuk merasa kaget, Rami langsung mendorong punggungku untuk masuk. Tampak Kakak dan Pak Dio di sofa dengan ditemani Bunda. Kemunculanku mengundang ekspresi berbeda dari keduanya.

Kakak menatapku tajam. Lelaki itu sama sekali tidak bisa menangguhkan emosi, rahangnya mengeras begitu melihatku muncul. Sementara Pak Dio tersenyum lega, seolah kedatanganku mampu membuatnya naik pangkat.

Bunda mungkin paham jika kami butuh privasi sehingga memilih untuk undur diri. Sikapnya itu membuatku lega. Sayangnya, tidak sama halnya dengan Rami. Perempuan itu masih berdiri di sana, tersenyum penuh harap seolah-olah ingin dikenalkan.

“Rami, kamu bisa pergi?” tanyaku.

Ia mengikuti permintaanku dengan enggan. Namun, aku tahu jika ia tidak sepenuhnya beranjak. Sosoknya masih berdiri di luar pintu.

“Apa saya juga harus pergi?” sela Pak Dio.

Aku mendelik padanya. Pengkhianatannya di rumah sakit dan juga tindakannya yang menyia-nyiakan informasiku masih membuatku sebal. Ia tampaknya sadar jika aku masih sakit hati, jadi menutup mulut sambil tetap mengulum senyum geli.

“Ternyata, kamu kabur ke sini,” sindir Kakak.  

Aku tidak menjawab, hanya menunduk. Lewat ekor mata, aku melihat si malaikat tampak berdiri di dekat jendela.

Lihat selengkapnya