Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #24

Bab 24

Siapalah aku di antara jutaan manusia di dunia ini sehingga harus diberi perhatian oleh seseorang? Aku bukan siapa-siapa, tidak ada yang menganggapku penting. Aku hanyalah satu dari sekian banyak orang hilang di dunia, hilang dari peredaran, hilang dari ingatan. Tidak ada yang benar-benar menganggapku ada.

Aku masih menangis sendirian di tengah jalan sampai waktu yang lama. Satu kendaraan pun tidak ada yang lewat. Bahkan, si malaikat juga tidak muncul, padahal ia satu-satunya sosok yang selama ini terikat padaku. Apakah aku benar-benar diabaikan oleh semesta?

Ya, Tuhan, kenapa tiba-tiba perasaanku jadi kacau seperti ini. Padahal aku terbiasa sendiri, kenapa mendadak merasa merana begini? Aku benar-benar kesal dengan diri sendiri dan memukuli kepala sendiri.

“Kepalamu tidak salah, jangan dipukul,” sela seseorang. Pada awalnya, aku mengira itu si malaikat, tetapi sebuah sentuhan membuat tanganku terhenti. Aku mendongak, melihat siluet seorang laki-laki berdiri di belakangku. Wajahnya tidak jelas karena tubuhnya menutupi lampu jalanan.

“Sudah selesai nangisnya? Sekarang ayo cari minum, saya haus,” lanjutnya. Dari suaranya, aku mengenalinya sebagai Pak Dio. Sejak kapan ia ada di sini?

Lelaki itu menjulurkan tangannya, memintaku untuk bangun. Aku tidak langsung menyambutnya, masih bertanya-tanya apakah ini hanyalah karena belas kasihan semata. Meski selalu sendiri, aku kuat berdiri dengan kaki sendiri. Aku tidak butuh bantuan jika dasarnya hanyalah rasa iba.

Aku mengabaikan tangannya, mencoba berdiri. namun, ia segera menangkap tanganku dan menarik tubuhku.

“Kamu keras kepala sekali,” katanya sambil memegang lenganku dan menarikku menyusuri jalan yang gelap itu.

Suhu turun, udara makin dingin. Sayup angin membelai kulit dan menimbulkan bintil di pori-pori. Kami masih melangkah menuju jalan yang lebih ramai. Semasih memperhatikan punggungnya, aku bertanya-tanya kenapa diriku tidak menolak bantuan ini? Kenapa kakiku malah mengikutinya? Apakah aku goyah karena merasa kesepian? Namun, bagaimana jika perhatiannya ini hanya karena belas kasihan?

Segala pertanyaan itu memenuhi kepala. Namun, anehnya aku tidak juga menarik tanganku. Aku menurut ketika dibimbing menuju kursi di depan salah satu minimarket.

“Tunggu di sini, saya belikan minum,” katanya. Ia bergegas masuk dan keluar lagi dengan beberapa makanan dan minuman.

Aku sedang tidak ingin makan atau minum, jadi menolak tawarannya. Lelaki itu menyerah dan menenggak minumannya sendiri sambil duduk di kursi lain. Untuk beberapa menit, kami terdiam sambil memandangi jalanan.

“Kenapa Bapak bisa ada di sini?” tanyaku penasaran.

“Saya haus, ingin minum,” kelitnya.

Aku melirik dan memberinya raut jenuh. Akhirnya, ia menjawab setelah sempat berdecak tiga kali.

“Mencari kamu itu susah, saya tidak mau kamu kabur lagi,” katanya. “Kamu tidak tahu kan jika saya sampai harus menyalahgunakan wewenang saya untuk melacak nomor kamu?”

Dahiku mengerut. “Bukannya Kakak yang tahu lokasi panti ini? Saya diadopsi di sini dan Kakak sudah sepuluh tahun saat itu.”

Pak Dio tergelak hambar. “Kakakmu itu hanya tahu paniknya saja, mana bisa mikir kamu pergi ke mana,” katanya. “Istrinya masih lebih bisa berpikir logis. Ia tahu harus menghubungi saya saat kamu kabur. Kakakmu? Dia hanya bisa marah-marah tidak jelas.”

Pak Dio tertawa kecil. Gaya bicaranya seolah-olah sedang membicarakan sahabat dekatnya. Aku jadi bertanya-tanya, apa saja yang terjadi sehingga mereka datang berdua? Di mana Mbak Iswari? Kenapa bukan dia yang seharusnya menemani Kakak?

“Setelah kamu kabur, mereka kebingungan dan meminta bantuan saya. Saya lalu meminta rekanan di perusahaan operator untuk melacak keberadaan kamu. Karena ponsel kamu mati, agak susah untuk mencarinya. Tapi beberapa hari lalu, kamu sempat mengaktifkan nomor, kan? Saat itulah saya tahu di mana lokasi kamu. Saya pun mengontak teman yang tugas di sini untuk mengonfirmasi. Barangkali mereka bisa membantu menemukanmu.”

Pengakuan itu membuatku teringat dengan polisi yang menanyakan namaku saat insiden durian itu. Si malaikat bilang ia memiliki fotoku. Apakah mungkin polisi itu temannya Pak Dio?

“Kamu benar-benar adik yang bandel ya? Jika saya yang jadi kakakmu, mungkin senewennya sama dengan Bara.” Pak Dio berdecak. Ia sempat tertawa kecil sebelum kembali menghabiskan minumannya.

“Gimana kelanjutan kasus Kakek Sahir?” tanyaku mengalihkan perhatian. Aku tidak nyaman membicarakan konflik keluarga ini dengan orang lain. “Pelakunya sudah ketemu?”

Pak Dio menggeleng. “Kasus ini lebih rumit ketimbang yang saya bayangkan. Kami belum mendapat kemajuan yang berarti. Melacak lewat perusaahan aplikasi ojek online pun belum mendatangkan hasil. Orang itu sudah mengatur semuanya dengan sempurna. Ia mengirimkan pesanan atas nama akun orang lain. Paket makanan diletakkan di pos ronda, jadi driver tidak bertemu langsung dengan orang itu. Akun yang digunakan juga milik anak SMA yang ponselnya hilang. Tidak ada CCTV di dekat pos ronda, jadi semuanya masih samar.”

Lihat selengkapnya