Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #25

Bab 25

Pak Dio berlari menuju arah panti. Aku menyusulnya dengan tertatih. Sandal licin ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Ia mencelat sana-sini dan membuat langkahku terganggu. Di satu ruas jalan, alas kaki itu malah terlepas dan melesat ke sebuah kolam akibat terdorong gerak kakiku. Terpaksa, aku berhenti untuk mengambilnya.

“Jara, cepat!” teriak Pak Dio saat sadar jarak di antara kami terlalu jauh.

“Duluan saja, Pak. Sandal saya lepas,” kataku. Pak Dio pun meninggalkanku. Punggungnya menghilang di belokan dan membuat diriku jadi satu-satunya manusia yang berada di ruas jalan ini. Malam yang sepi, jalanan kosong dan gelap. Mendadak aku merinding.

Sesaat, aku berniat untuk meninggalkan saja sandal itu. Namun, jalanan ini berbatu dan berpasir. Kaki akan lecet jika aku memaksa lewat tanpa alas kaki.

Akhirnya, aku kembali fokus pada kolam. Di bawah penerangan lampu jalanan yang temaram, sandal itu tampak mengambang di pojok dekat sebuah pohon besar. Aku coba mencari ranting dan memukul-mukul permukaan air demi menciptakan gelombang. Sayangnya, sandal itu malah makin menjauh.

Aku berpindah posisi, makin mendekat ke pinggir kolam. Sambil mencondongkan tubuh ke depan, aku mengulurkan tangan sejauh mungkin agar bisa menjangkau sandal. Mungkin tubuhku terlalu berat dan ke pinggir, sehingga tekanan pada tanah menjadi bertambah. Pinggiran kolam itu amblas, menarik kakiku turun hingga terjatuh ke kolam.

Aku memekik kecil karena kaget. Sekujur tubuhku kini basah kuyup, cipratan air bahkan sampai masuk ke mulut dan meninggalkan rasa amis. Aku meludah, merasa mual dengan aroma busuk itu.

“Sialan,” umpatku, kemudian kembali mencari-cari sandal. Alas kaki itu makin terpojok ke dekat pohon teratai. Kepalang basah, akhirnya aku menerobos air dan mengambilnya dengan dendam kesumat. Ketika hendak berbalik menuju tepian, tiba-tiba perhatianku teralihkan pada sepasang mata berpendar yang muncul dari balik pohon besar.

Deg. Rasa kaget mengaktifkan alarm kewaspadaan, membuat jantungku berdegup kencang.  Ternyata, ada arwah di sini. Sedari tadi, aku tidak melihatnya karena ia terhalang pohon. Simulasi yang sudah diajarkan si malaikat terlintas di ingatan, aku cepat-cepat memalingkan wajah untuk memutus kontak mata. Jiwa kami belum terhubung, aku berhasil menggerakkan kepala dan melepaskan diri dari tarikan si arwah.

Sayangnya, ada yang berbeda kali ini. Biasanya, si arwah tidak akan responsif begitu aku mengabaikannya. Namun kali ini, ia malah makin mendekat. Sepasang mata itu bergerak cepat dan malah melayang di atas kolam. Aku bingung, makhluk ini tidak seperti arwah gentayangan yang biasa kutemui. Ia lebih mirip gumpalan kabut hitam pekat raksasa dan tubuhnya bahkan sudah menutupi hampir seluruh pandanganku terhadap langit.

Aku gemetar. Riak air terdengar saat tubuhku mundur. Dalam pikiranku, aku tahu jika harus memanggil si malaikat, tetapi mulutku terkunci karena rasa takut.

Dug. Benturan terdengar saat tubuhku menyentuh pinggir kolam. Aku meringis karena jalur pelarianku sudah terpotong. Bagaimana ini? Apa aku akan mati di sini?

Mata makhluk itu terus mendekat. Tubuhnya mulai menutupi sekitarku dan membuat sekitar tampak dilapisi plastik hitam setengah transparan. Sensasi menusuk segera mencapai kulit dan masuk perlahan hingga ke tulang. Bedanya, jika roh penasaran memberi rasa dingin, makhluk ini membuatku kepanasan.

Aku berusaha menggerakan tangan, mencapai pinggir kolam untuk berpegangan. Dengan energi yang dipaksakan, aku menolakkan tubuh ke atas dan mencoba mencapai bagian atas pinggir kolam. Sayangnya, air menahan tubuhku, membuatku kembali terjatuh.

Tolong aku. Hei, malaikat sialan, datang ke sini. Bantu aku!

Pekikan itu menggema di kepala, sementara mulutku terkunci oleh ringisan. Dengan segera, ledakan cahaya membanjiri sekeliling dan membuat semuanya serba putih.

“Tadi kamu memintaku pergi, tetapi sekarang memanggilku. Kamu pikir aku malaikat panggilan,” sindirnya.

Sambil mengerjap untuk mengusir sisa cahaya, aku menoleh untuk memastikan keberadaannya. Ia berdiri di pinggir kolam, bersedekap sambil menatapku sinis. Sekelilingku sudah kembali normal dan makhluk itu menghilang tanpa jejak.

Lihat selengkapnya