Kakak masih berbaring di brankar. Lukanya sudah dirawat dan dokter bilang tidak terlalu dalam. Syukur ia mengenakan ikat pinggang berbahan kulit yang tebal, sehingga tekanan pisau sedikit tertahan. Tidak ada luka pada organ dalam, dokter sudah melakukan rontgen. Pendarahan disebabkan oleh luka di bagian luar perut kiri.
Aku duduk di sebuah sofa bed yang ada di kamar perawatan sambil terus menangis. Meski Kakak sudah tertangani, kejadian ini masih membuatku syok. Rasa takut yang aku rasakan melebihi kengerian karena dibawa ke akhirat.
Pak Dio terus menepuk pundakku karena aku masih gemetaran. Ia berkali-kali mengingatkanku bahwa dokter sudah menjelaskan kondisi Kakak. Namun, tetap saja semua itu belum mampu membuatku lebih tenang. Selama lelaki itu belum bangun, aku benar-benar tidak bisa bernapas lega. Ia terluka karena aku. Jika terjadi apa-apa, bagaimana caraku mempertanggungjawabkan kesalahan ini pada Mama?
“Kakakmu hanya tertidur, ia mengeluarkan banyak darah jadi pasti lemas. Kamu tarik napas dalam-dalam, berhenti memikirkan kemungkinan terburuk,” kata Pak Dio. Ia menambahkan penghiburannya dengan mengusap bahuku.
Rami muncul di pintu sambil membawakan minum. Ia memintaku menenggaknya, tetapi aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Bunda dan orang-orang panti menunggu di luar. Kepalaku terlalu penuh, jadi tidak terpikir untuk meminta mereka dan juga Rami untuk pulang. Pak Dio yang melakukannya.
“Kamu kembalilah ke panti,” katanya pada Rami. “Bara sudah aman di sini. Tidak ada gunanya lagi ramai-ramai. Hanya akan menghabiskan energi sia-sia. Masih ada anak-anak yang harus diurus.”
Rami menatapku, memegang tanganku. “Jangan menangis lagi. Kakakmu pasti akan baik-baik saja,” katanya.
Aku mengangguk, tetapi gerakan pelan itu saja sudah kembali membuatku terisak. Akhirnya, Rami berpamitan dan berjanji akan datang esok hari.
Malam itu, kami menginap di rumah sakit. Seorang utusan panti datang menjelang tengah malam untuk membawakan selimut, tikar, serta tas ransel milik Kakak dan Pak Dio. Pak Dio kemudian menyuruhku berbaring dan menyelimutiku.
“Tidur ya, jangan menangis lagi,” katanya. Sementara aku berbaring dan memejam, ia keluar ruangan untuk menelepon. Sedari tadi, ponselnya sibuk menjawab pesan dan panggilan. Dari obrolan yang sepintar kudengar, ia berkomunikasi intens dengan temannya perihal pembunuh yang kabur itu.
Malam itu terasa panjang karena aku selalu terbangun hampir tiap jam. Rasa takut langsung menyergap begitu kesadaranku kembali dan aku cepat-cepat memeriksa kondisi Kakak. Setelah memastikan bahwa ia dalam keadaan stabil, aku kembali tidur dan kemudian terbangun lagi dalam kondisi yang sama.
Pada pukul empat pagi, aku tiba-tiba merasa panas. Tubuhku gerah tidak jelas, mulai dari punggung hingga belakang kepala. Aneh, padahal pendingin udara berfungsi dengan baik. Aku pun tidak bisa memejam lagi dan akhirnya duduk. Pak Dio tidur di lantai dengan beralaskan tikar dan bantal kiriman Bunda. Aku tidak tahu jam berapa ia kembali, terakhir bangun, kaki sofa bed masih kosong. Sekarang, lelaki itu tidur di sana dengan pulas dengan hanya berselimutkan jaket.
Aku memperhatikannya lekat. Ia tertidur dengan mulut sedikit membuka dan tangan terangkat ke arah kepala. Kami baru mengenalnya baru-baru ini, tetapi ia rela tidur di lantai hanya untuk menunggui kami. Meski aku belum tahu alasannya bersedia menemani Kakak kepelosok negeri demi mencariku, pemandangan ini sudah cukup membuat terenyuh.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya sebuah suara. Pada awalnya, aku mengira itu Pak Dio. Namun, lelaki itu masih tidur. Maka, aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Si malaikat ada di sana, berdiri di ujung sofa bed sambil memperhatikanku. Sorot matanya redup, penuh dengan rasa cemas.
Aku tersenyum melihatnya, kemudian mengangguk. Dengan gerakan ringkas, aku bangkit dan mengajaknya keluar ke koridor.
“Aku melihatmu, berusaha memukul penjahat itu,” kataku dengan nada setengah menggoda. “Kenapa? Takut aku mati? Harusnya kamu senang karena punya teman, kan?”
Si malaikat membalasku dengan wajah masam. “Bisa-bisanya kamu menggodaku sementara dirimu sendiri sedang dalam masalah,” katanya.
Aku memberinya raut mengejek. “Aku aman sekarang, sudah ada Kakak dan Kak Dio,” sahutku sambil menjulurkan lidah.
“Mereka tidak akan bisa membantumu dalam masalah ini,” ejeknya balik.
“Emang masalah apa yang tidak bisa mereka bantu?” sahutku tidak mau kalah. Sementara itu, rasa panas ini makin menganggu, membuatku menggerakkan punggung agar pakaian tidak menempel ke kulit.
Ia tersenyum culas. “Kamu tidak merasa aneh sejak semalam? Kondisi tubuhmu?”