Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #27

Bab 27

Orang itu meninggal karena luka di kepala. Kakak merasa bersalah karena mengira itu akibat pukulannya. Pak Dio menenangkannya dan menyebut itu sebagai musibah. Menurutnya, Kakak melakukan itu karena membela diri. Aku makin kasihan pada Kakak. Ia masih dalam masa pemulihan, insiden ini membuatnya terguncang.

“Apa itu artinya semua kasus hukumnya selesai?” tanyanya Kakak.

Pak Dio mengangguk. Namun, masih ada keraguan dari wajahnya. “Padahal aku masih penasaran, kenapa ia mengejar Jara.”

Perkataan itu mengingatkanku pada pertanyaan orang itu tadi malam. “Ia menanyakan gantungan kunci padaku,” kataku.

Kakak dan Pak Dio menatapku serius. “Gantungan kunci apa maksudnya?”

Aku menggeleng, tidak paham.

“Pasti ada yang penting dalam gantungan kunci itu sehingga ia terus memburumu, coba ingat-ingat lagi,” pinta Pak Dio. Kami berdua duduk di sofa bed dan menghuni masing-masing ujung. Sementara aku berpikir, ia menunggu dengan tegang.

“Ah, apa gantungan kunci yang kutemukan di pagar rumah kosong itu ya?” gumamku ragu.

Kakak menanyakan rumah kosong yang mana. Wajahnya berubah galak setelah aku menceritakan kenakalan yang kulakukan belakangan ini.

“Sebentar, rasanya gantungan kunci itu aku masukkan ke ransel,” kataku sambil mengaduk isi tas. Cukup lama aku mencari, benda itu kutemukan di dalam map yang berisikan ijazah. Saat aku menarik map itu, bungkusan yang berisi perhiasan Mama jatuh.

“Itu kan perhiasan yang diberi Mama,” kata Kakak sambil menunjuk bungkusan yang kupungut dengan cepat itu. Tatapannya makin garang saat aku menyengir. “Jangan bilang kamu mau menjualnya untuk biaya selama kabur?”

“Kakak tidak mengirimiku uang,” kilahku. Syukur Rami sudah kembali ke panti sehingga tidak menengar rahasia kotor ini.

“Aku sengaja tidak memberimu banyak uang biar kamu tidak kelayapan,” jawabnya.

Pertikaian keluarga ini tentu akan berlanjut jika Pak Dio tidak berdeham. Aku pun menyerahkan gantungan kunci. Manik-maniknya menimbulkan bunyi khas saat berbenturan sama lain. Pak Dio membalik benda itu, memencet setiap manik. Saat sampai ke boneka kepala kucing di ujung manik, ia tampak tertarik.

Pak Dio memutar kepala kucingnya sedemikian rupa sehingga terlepas menjadi dua bagian. Rupanya, itu adalah sebuah flash disk dan penutupnya.

Aku menggumam takjub kemudian mengeluarkan laptop dari tas. Setelah menyambungkan daya, kami memeriksa data-data yang ada di dalam tempat penyimpanan itu. Rupanya, isinya berupa hasil scan dokumen. Beberapa di antaranya adalah sertifikat tanah atas nama Kakek Sahir. Ada pula formulir hibah dengan nama penerima yang sama. Semua atas nama Wanda Duhita Sari.

Aku tidak mengerti apa pentingnya dokumen ini. Namun, ekspresi Pak Dio menunjukkan ketertarikan luar biasa. Ia begitu antusias, begitu puas hingga tidak bisa menyembunyikan senyum girangnya.

“Ini apa artinya?” tanya Kakak. Sebagai warga sipil, kami berdua benar-benar awam dengan hal-hal semacam ini.

“Nanti saja aku jelaskan,” ujarnya. Padaku ia berkata, “Makasih banyak, Ra. Bantuanmu besar sekali dalam kasus ini.”

Aku hanya bisa cengar-cengir. Meski tidak mengerti, tetapi tetap senang karena berhasil membantu.

Pak Dio kemudian pamitan untuk pulang duluan. Bukti baru itu membuatnya harus kembali ke kota kami secepatnya. Sementara Kakak masih harus menjalani perawatan, maka kami tinggal di sini lagi untuk beberapa hari. Untuk itu, terpaksa Kakak memberi tahu Mbak Iswari. Kakak iparku itu terkejut, hampir memaksa untuk terbang ke sini. Namun, aku meyakinkanya bahwa Kakak baik-baik saja. Ada aku dan juga Rami yang merawatnya di sini.

Rami sudah bisa bersikap biasa di hadapan Kakak. Aku takjub bagaimana ia membuat Kakak mau mengobrol dengannya.

“Dia tidak sepertimu,” kata si malaikat. “Kembaranmu jauh lebih pintar dalam segala hal dibandingkan denganmu.” Tidak ada kata yang bisa kuucapkan untuk menyanggah. Karena itu, hanya tatapan tajam yang ia terima. Namun dalam hati, aku mengakui bahwa perkataan si malaikat ada benarnya juga.

Setelah beberapa hari dirawat, Kakak diizinkan keluar rumah sakit pada suatu siang. Rami dan Bunda mengajak kami ke panti, tetapi Kakak menolak. Ia memintaku mencari penginapan hingga kami mendapat tiket pesawat. Aku pun membawanya ke losmen Nenek Ida dan menyewa dua kamar.

Dan oh, sebelumnya aku juga berbisik pada Bunda tentang makhluk penunggu pohon besar di kolam. Ia tersenyum kecil kemudian mengajakku meminta maaf ke pohon itu sambil membawa camilan sederhana.

Pada awalnya, cara itu membuatku sangsi. Mana mungkin makhluk astral luluh hanya karena dikasih makanan ringan begitu? Namun, begitu Bunda mengucapkan doa dan menaruh makanan itu di batang pohon, secara ajaib, rasa panas itu menghilang. Wah, aku benar-benar tidak habis pikir. Betapa mudahnya ternyata mengusir makhluk itu, aku tidak perlu lagi meminta perlindungan dari si malaikat.

*

Wanda Duhita Sari, keponakan pasangan lansia yang ditemukan membusuk di rumahnya, ditangkap pihak kepolisian pada Sabtu 20 Januari. Dari hasil keterangan pers yang dilakukan oleh pihak kepolisian, Wanda terbukti secara sah melakukan pembunuhan berencana terhadap keluarganya itu. Ia berkomplot dengan rekan kerjanya, Adrian, yang sebelumnya sudah ditemukan meninggal di kota S.

Lihat selengkapnya