Si malaikat maut menyambutku dengan senyum menggoda. Ia berdiri di sudut favoritnya sambil berdeham-deham. Suara batuk yang dibuat-buat itu terdengar menjengkelkan, hingga membuat wajahku terasa panas.
“Bagaimana rasanya berduaan dengan lawan jenis yang jelas-jelas manusia?”
Aku bengong dengan pertanyaan itu, terutama karena ia menekankan nada suaranya pada kata ‘jelas-jelas manusia’.
“Kenapa, kamu merasa tersaingi?” sindirku.
Hari sudah malam. Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Pak Dio mengantarku pulang setelah duduk-duduk di sebuah taman sambil dan makan es krim. Motif awalnya hanya kedok semata karena pada akhirnya, kami tidak menemukan penjual kacang rebus.
Kakak menungguku di teras dan membukakan pagar. Padahal, kondisinya masih belum sembuh benar, tetapi ia rela bergadang hanya untuk memastikan aku pulang tepat waktu.
“Apa dia menyenangkan?” tanya si malaikat.
Sambil melepas tas dan jaket, aku mengejeknya. “Yang jelas, mulutnya lebih manis ketimbang kamu.”
“Syukurlah, jika ia sepertiku, aku yakin kamu akan kepedasan saat berciuman dengannya nanti.”
Perkataan itu menyulut rasa sebal. Aku mendelik padanya, tetapi tetap tidak menemukan kata-kata makian yang tepat karena imajinasiku telanjur mencapai ranah itu. Sialan. Si malaikat sudah membuat otakku terkontaminasi.
Sadar aku tidak mampu menjawab, si malaikat terbahak-bahak. “Pasti kamu mengharapkan itu ya?” katanya.
Wajahku panas membara. Kuyakin, warnanya merah padam. Akhirnya, aku melempar si malaikat dengan jaket, meski sebenarnya itu sia-sia karena ia tidak kasatmata.
Selagi aku ngambek, tawa si malaikat tiba-tiba terhenti. Wajahnya berubah serius dan ia mulai membaui udara.
“Jara, baunya mendadak sepat,” katanya lirih.
Berita itu membuatku membeku. Aku pun menatapnya dengan rasa was-was. Rasa syok akibat kematian Rami saja belum memudar. Kini aku harus menghadapi kematian selanjutnya. Rasa takut membuncah dengan cepat di dada. Siapa lagi yang akan meninggal kali ini?
“Apakah aku?” tanyaku dengan suara bergetar.
Si malaikat mengangkat bahu. “Baunya baru tercium, padahal kamu sudah pulang sejak tadi.”
“Lalu, siapa?”
“Entahlah.”
Perkataannya semakin membuatku cemas. Apakah Kakak? Mbak Iswari? Atau jangan-jangan, janin mereka?
Aku segera keluar kamar dan menggedor kamar mereka. Kakak membuka pintu dengan mata setengah terpicing. Tampang kucelnya menunjukkan ia baru tertidur. Suaranya serak saat bertanya, “Kenapa, Ra?”
“Mbak tidak apa-apa?” tanyaku sambil melongok ke dalam kamarnya. Tampak Mbak Iswari tertidur membelakangi pintu.
Sejenak, Kakak menoleh ke arah istrinya. “Dia tidur, kenapa?”
“Apa dia baik-baik saja?” cecarku dengan cemas.
Kakak menghela napas panjang dan menyentuh lenganku. “Dia bisa bangun jika kamu terus berteriak begini. Sudah malam, kamu tidurlah.”
“Tapi bayinya?”
“Bayinya baik-baik saja. Kemarin sudah periksa ke dokter.”
“Lalu, Kakak sendiri gimana, ada merasa tidak sehat? Lukanya gimana?”
Kakak menyela, “Jara, berhentilah cemas begitu. Semuanya baik-baik saja,” sahutnya. Ia mendorong tubuhku menjauh dan berkata, “Kamu tidur sekarang. Aku ngantuk sekali.”
Kakak langsung menutup pintu, meninggalkan aku yang kebingungan di ruang tengah. Kakak dan Mbak baik-baik saja, begitu juga bayinya. Lalu, apakah aku yang akan mati?
Langkahku gontai saat melangkah menuju kamar. Dalam perjalanan singkat itu, aku membayangkan betapa cepatnya kematian itu datang. Aku bahkan belum menikah, pacaran saja tidak pernah. Bagaimana takdir bisa begitu tega dan mencabut nyawaku secepat ini?
Si malaikat mondar-mandir di kamarku sambil membaui udara. Saking sibuknya, ia bahkan tidak menyadari kedatanganku. Aku duduk di kasur, bersila dan memandanginya. Ketika sosok itu tetap saja tidak diam, aku menegurnya.
“Hei, tenanglah. Yang akan mati itu aku, kenapa kamu cemas sekali?” tanyaku.