Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #30

Epilog

Gadis itu masih duduk di halte. Punggungnya melengkung, kepalanya tertunduk menatap ujung sepatu. Mata muramnya sesekali memeriksa sekeliling, barangkali menunggu seseorang yang akan menjemputnya. Ketika sosok yang ia nanti tidak juga muncul, ia mendongak menatap langit.

Aku berada di seberang halte, menyender pada pohon perindang jalan sambil memainkan sebuah jedai rambut warna hitam. Bukan, aku bukan mahasiswa cabul yang suka menguntit anak SMP, sekalipun gadis itu sangat cantik. Keberadaanku di sini memiliki maksud dan itu untuk membuatnya tertawa.

Betapa lucunya hidup ini. Aku harus menghibur orang lain sementara aku sendiri baru kehilangan seorang adik bebeberapa hari lalu. Tanah kuburannya pun masih basah. Namun, janji tetaplah janji, aku berusaha menepatinya meskipun rasanya ganjil.

Semuanya bermula dari sebulan yang lalu. Adikku menderita leukimia dan berujung pada perawatan rumah sakit. Kondisinya makin menurun dan aku dipanggil pulang dari kota tempatku kuliah. Di saat-saat terakhir, adikku membuat permohonan yang susah untuk ditolak.

Ia bercerita tentang teman satu-satunya yang dimilikinya.

“Kakak. Aku punya teman. Satu-satunya teman yang kumiliki. Ia sangat baik padaku, suka menolong jika ada anak lain yang mengangguku. Ia perempuan tetapi sifat dan keberaniannya seperti laki-laki. Bulan lalu, ada anak laki-laki yang menyembunyikan baju olahragaku. Aku mencarinya ke mana-mana tidak ketemu. Temanku kemudian membantuku dan ia menemukan bajuku digantung di atas pohon yang sangat tinggi. Temanku itu marah, kemudian mengambilkan baju itu untukku. Kakak tahu, ia sangat pintar memanjat. Katanya, ia latihan sedari kecil dengan memanjat jendela dan tembok.

Selain pintar memanjat, temanku itu juga berani memarahi anak yang menyembunyikan bajuku itu. Ia bahkan menantang anak laki-laki itu berkelahi. Sungguh, ia sangat hebat untuk ukuran anak perempuan.

Tapi, Kak, sejak dua minggu lalu, ia berubah pendiam. Wajahnya selalu tampak sedih dan murung. Aku bertanya apakah ia punya masalah, tetapi ia hanya diam. Butuh satu minggu bagiku untuk mampu membuatnya bercerita. Ternyata, ia baru tahu jika dirinya adalah anak adopsi. Katanya, pantas kakaknya tidak menyukainya dan selalu marah padanya.

Aku sedih, Kak. Ia temanku satu-satunya, teman yang selalu membantu di saat kesusahan. Tetapi saat ia sedih seperti ini, aku tidak bisa menghiburnya karena harus dirawat di rumah sakit. Karena itu, aku ingin minta tolong pada Kakak. Kakak kan pintar melucu, bisa Kakak menghiburnya agar temanku itu bisa tertawa lagi?”

Lihat selengkapnya