Plak!
Ini nyamuk ketiga belas yang mati di tanganku sejak lima belas menit lalu, dan lelaki yang kutunggu tak kunjung datang. Kulirik riwayat percakapan, tak ada balasan. Hanya ada pesanku di baris terakhir dengan tanda dua centang biru di sudut kanan-bawah.
Mamak sedang pilek dan parno setengah mampus. Termakan berita di TV bahwa salah satu gejala Covid adalah hilangnya kemampuan mengendus. Aku nyaris menceramahinya agar tak terlalu cemas, tetapi segera kuurungkan karena tercetus ide cerdas. Ini kesempatan emas!
“Mamak istirahat saja di kamar. Jangan bertemu siapa-siapa dulu. Biar saya yang datang ke tahlilan mendiang Pak Nadir.” Semoga Pak Nadir tenang di Sana dan tak mengutukku karena menjadikan ia sebagai alasan.
Demi menunaikan kecemasannya perihal tertular dan menularkan virus yang sedang menghebohkan seluruh dunia itu, Mamak akhirnya menurut. Ini peristiwa langka, kapan lagi coba, manusia dengan hati sekeras besi mau mendengarkan nasihat dariku yang menurutnya “kamu tidak tahu apa-apa”? Maka, di sinilah aku sekarang. Duduk di dalam pondok remang-remang dengan puluhan nyamuk yang mengerubutiku penuh gairah.
Ah, gairah.... Malam ini aku harus menuntaskannya.
Terdengar suara langkah mendekat. Kemudian, “Laya? Kamu sudah di dalam?”
Segera kubukakan pintu dengan muka masam. Tak pernah terjadi sebelumnya ia memaksaku menunggu begini lamanya. “Ke mana saja, sih?”
Ia sempat melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak satu pun orang melihat. Lalu segera masuk dan menutup pintu. Pelita sengaja kubiarkan padam karena kami memang sedang menjalankan misi rahasia.
“Kenapa memintaku ke sini? Mendadak betul.”
Ia belum menjawab pertanyaanku, tetapi karena tatap dan suaranya yang teduh, aku urung marah. Aku menuntunnya ke bangku panjang di belakang etalase tempat berbagai merk rokok dan camilan bersemayam. Aku tetap berdiri, tepat di depannya. Tanganku yang semula bertaut di lengannya, kini telah menguncup di depan dada. Kubuka satu demi satu kancing kemeja. Ketika sampai di kancing ketiga, tangannya yang besar mencengkeram lenganku.
“Apa yang kamu lakukan?” Ia tampak frustasi, berusaha menghindar dari susuku yang menyembul di celah kemeja. Tangannya masih menahan tanganku.
“Kenapa? Mas ndak berselera denganku?” tanyaku dengan terbata. Sungguh, aku sendiri pun takut. Aku merasa tidak sedang menjadi diriku sendiri saat ini.