JEGAL

Rizky Anna
Chapter #3

SULUNG EKALAYA - 2

Katanya, orang-orang yang tinggal di desa menjalani hidup dengan santai, slow living. Sebetulnya aku tak percaya. Orang-orang kota yang mengatakan demikian pasti belum pernah merasakan mengurus sawah dan ladang seharian, sorenya masih harus mencari ramban¹, selepas magrib kadang mencari ikan atau kodok untuk dijual. Dan setelah berbagai aktivitas fisik yang amat melelahkan itu, kami orang desa masih begini-begini saja. Kerja keras kami seperti tak membuahkan hasil, selain encok dan pegal linu.

Kami, orang-orang desa, bukan sedang slow living, tapi ya karena memang segini saja mampunya. Bahkan pemuda-pemuda yang merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji tetap dan sesuai upah minimum pun nasibnya tak lebih baik. Malah ada yang pongah dan menghamili pacarnya di kota, pulang-pulang maling sertifikat tanah orang tuanya untuk dijual sebagai biaya kawin.

Aku merasa cukup beruntung karena Mamak rela menjual maskawinnya untuk modal membuka warung kopi kecil-kecilan. Katanya, “Aku kan sudah tua, sudah janda. Ndak perlu giwang² dan cincin emas, sudah bukan masanya lagi pakai begituan. Mending dijual buat modal kamu cari uang, adik-adikmu kan banyak, butuh uang banyak juga.”

Maka, di sinilah aku bermuara. Terapung-apung di antara asap sebat dan bau apak ketiak bapak-bapak. Meski aku harus bangun sejak pagi buta hingga malam tiba, hidupku tak berubah lebih kaya. Aku masih harus berhemat agar Mamak dan keempat adikku bisa makan tiga kali sehari dengan lauk layak; dan bisa membayar sekolah mereka sebelum tenggat. Dan menjadi penjaga warung kopi sibuknya bukan main. Tidak ada slow-nya sama sekali!

Namun, sejak awal tahun 2020 lalu, pikiranku mulai sedikit berubah. Aku jadi setuju dengan pendapat orang kota itu. Ketika TV dan media sosial dipenuhi berita tentang Covid-19 yang menewaskan puluhan orang dalam waktu sekejap, orang-orang di desaku nyaris tak peduli—kecuali Mamak, tentu saja. Padahal, media santer mewartakan kondisi di kota yang sangat chaos seolah sudah hampir kiamat: menimbun masker dan sembako, orang awam sibuk stok tabung oksigen dan Alat Pelindung Diri, brankar rumah sakit yang tak mencukupi sehingga banyak pasien yang menggelepar di teras rumah sakit, sampai berbondong-bondong meminum susu naga yang konon bisa menangkal virus mematikan itu. Sungguh berbanding terbalik dengan bapak-bapak yang kini duduk bersandar di bangku warungku—yang menurutku merepresentasikan mayoritas warga Desa Sabrang.

Mata mereka merekah, senyumnya semringah menyambut kedatanganku. Mereka duduk melingkar—atau lebih tepatnya mengkotak—di meja berlapis perlak anti air. Sama sekali tak ada inisiatif membantuku yang kepayahan membawa termos dan tetek bengek bahan dagangan yang tak bisa distok di warung.

“Kok tumben siang banget, Mbak?” tanya salah satunya yang hanya mengenakan kaus kutang.

“Biasa, Pak. Semalam baru pulang jam tiga dari rumah Pak Lurah.”

Mremo³ di sana, tho?”

“Ndak. Kalau mremo malah nanti saya ndak bisa fokus nonton.”

“Ealah! Ternyata masih ada anak muda yang doyan nonton wayang!”

Aku hanya tersenyum dan kembali sibuk menata warung, sembari menunggu air yang kujarang mendidih. Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, bahwa aku bukan hanya suka lakon wayang, tetapi juga mencuri-curi waktu untuk bertemu Mas Anggra.

“Kok Pak Lurah bisa nanggap⁴ wayang, ya?” kata salah seorang yang tak kuketahui siapa, sebab aku sudah mulai sibuk di dapur.

“Ya bisa, wong ada duitnya.”

“Kalau soal duit ya ndak perlu ditanya lagi! Kan sekarang ndak boleh bikin acara rame-rame? Warung Mbak Laya aja sekarang cuma sampai sore, ndak boleh buka sampai malam. Itu, warung es degan di dekat gapura kan kemarin digrebek sama ... mbuh siapa, ngakunya sih petugas keamanan.”

“Sama aja lah, selagi ada duit, semua beres. Pak Lurah mesti sudah siapkan dana buat menyumpal mereka biar diizinkan bikin acara. Kayak ndak tahu aja!”

Lihat selengkapnya