Bunda dan ayah bercerai. Itu tidak adil, sangat tidak adil... bagiku. Tetapi siapa yang bisa mempertahankannya jika perasaan sudah tidak lagi sama? Atau siapa yang bisa merubah sesuatu yang seharusnya terjadi?
Aku dan bunda masih tinggal di rumah warisan leluhur sementara ayah kembali ke rumahnya yang dulu. Kata bunda rumah yang kami tempati didirikan sejak tahun 1891, meskipun begitu bangunannya masih terlihat kokoh. Rumah itu hanya di renovasi sedikit, dibuat menjadi bertingkat tanpa menghilangkan unsur kunonya.
Ayah dan bunda terlihat sangat cocok, setidaknya itu kalimat sebelum sesuatu telah memisahkan mereka. Bunda yang selalu sibuk dengan pekerjaannya dan ayah dengan hal yang sama. Ayah beberapa kali menyarankan bunda untuk berhenti, mempercayakannya kepada saudara-saudaranya, atau tidak terlibat langsung di lapangan supaya lebih mempunyai banyak waktu untuk keluarga. Tetapi bunda bukan orang yang suka dikekang dan ayah bukan orang yang keinginannya boleh tidak dituruti.
Bunda mencintai ayah dan begitu juga sebaliknya. Tetapi itu dulu, sekarang aku tidak tahu lagi. Tampaknya waktu berhasil merubah apa-apa yang dulu terlihat indah.
Mereka jarang bertengkar atau mereka yang pandai menyembunyikannya sampai aku tidak tahu hingga kabar menyedihkan itu terdengar, tiba-tiba, seperti sambaran petir tanpa kilat. Mereka berpisah baik-baik, tidak saling membenci, memusuhi, atau menyimpan dendam. Tetapi mereka tidak tahu bahwa tidak ada yang baik dari sebuah perpisahan, setidaknya itu bagiku, seorang anak yang menginginkan keluarga yang utuh.
Bunda tidak kesulitan dalam hal ekonomi. Bunda memiliki tempat penggilingan padi, sawah yang luas, tanah, dan perkebunan buah. Bisa dikatakan bunda wanita terkaya di kampung. Itu semua peninggalan leluhur kami secara turun temurun. Bunda dan saudara-saudaranya mengelolanya dengan baik. Dan ayah selalu mengirim uang bulanan untukku. Semuanya kami miliki. Tetapi apakah ada yang tahu bahwa anak laki-laki yang bernama si Robert sangat kesepian. Aku sudah berusaha keluar dari zona seperti ini, tetapi akhirnya kembali lagi pada hal yang membosankan hanya karena tahu bahwa mereka, teman-temanku, menganggap berbeda, hanya karena sebagian dari orang tua mereka pekerja bunda. Aku benci kehidupan ini. Tidak adil.
Aku paling suka malam. Duduk di atas genting kamar, melihat ke langit atau ke kegelapan sejauh mata memandang. Bulan yang sendiri seperti menyindir kehidupanku, atau ribuan bintang yang tampak jelas jika malam cerah tak berawan membuatku iri, mereka berkelompok, kompak bergerak ke arah barat. Terkadang aku melihat hujan meteor, indah, tetapi seindah apa pun jika dinikmati sendiri seperti tak berarti. Tak lebih dari mimpi di siang bolong.
Disaat seperti itu aku selalu berpikir, di sana, jauh di sana, di tempat yang tidak aku ketahui, ada apa? Kehidupan seperti inikah... atau lebih indah... atau lebih buruk. Dan semenjak itulah aku menulis di buku harian...
Pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi