Dia seorang murid pindahan. Perempuan berambut kuncir kuda, dua gigi depannya besar, dan terlihat seperti laki-laki. Dia duduk di sebelahku atas perintah Bu Guru, padahal masih ada beberapa kursi kosong. Apakah aku terlihat seperti orang yang kesepian? Ataukah Bu Guru bisa merasakan apa yang tak terlihat.
Dia mengulurkan tangannya -ketika duduk- sambil tersenyum, sekarang dijarak dekat seperti ini kedua giginya tampak jelas, lebih besar.
Aku menjabat tangannya.
"Rani," katanya.
"Namamu siapa?" tambahnya ketika aku melepaskan jabatannya.
"Robert," jawabku pelan.
"Hah, Obet?" Dia mengulang, suaranya naik beberapa oktaf membuat beberapa orang tertawa. Sialan perempuan ini.
***
Aku berada di lantai dua. Salah satu kebiasaan ketika istirahat, membaca di sana sambil mendengarkan lagu di walkman dan sesekali melihat ke lapangan, orang-orang sedang bermain, tertawa, teriak. Pemandangan sialan. Maaf aku telah mengatakannya, sesuatu yang tidak bisa aku dapatkan.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Aku menoleh. Dia perempuan pindahan itu. Aku mengabaikannya.
"Nih...," perempuan itu menyodorkan permen di depan wajahku, "maaf, aku tidak bermaksud membuatmu ditertawakan."
Aku berdiri, meninggalkannya, tetapi langkahku berhenti ketika dia mengatakan, "Kata orang-orang kau aneh, tak punya teman, sombong, judes, tapi aku tidak percaya itu...."
Aku membalikan badan. Dia tersenyum dan lagi-lagi gigi kelincinya tampak jelas. Aku mendekatinya sampai jarak kami hanya setengah meter.
"Mereka benar."
"Tapi aku tidak percaya itu."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau mengikuti pendapat orang-orang. Apalagi tentang penilaian terhadap seseorang. Itu terdengar tidak adil."