JEJAK

galih faizin
Chapter #4

Tersesat

Aku membuka jendela kamar ketika sesuatu menghantam kacanya, tampak Rani di bawah, dia mengenakan jaket hijau tua, di punggungnya tampak tas merah mudanya. Wajahnya penuh keyakinan.

"Tunggu," kataku, hanya gerakan mulut.

Aku ke dapur setelah mengenakan jaket oranye tebal yang di punggungnya bertuliskan Netherland, jaket pemberian ayah. Aku mengambil makanan apa saja yang bisa dimasukan ke dalam tas, setelah itu berjinjit keluar, berusaha tidak mengeluarkan suara.

Aku tidak pernah keluar rumah sepagi itu selain waktu ketika disunat. Udaranya yang dingin menusuk kulit membuat siapa saja malas bergerak selain bersembunyi di balik selimut tebal.

"Siap?" tanya Rani.

Aku mangguk setengah yakin.

Kami berjalan di jalan setapak, kiri kanan sawah dengan padi-padinya yang masih pendek. Kami sengaja lewat jalan itu untuk menghindari orang-orang (aku menduga akan mengadukannya pada bunda). Rani terus mengoceh, tampaknya dia bersemangat, dan entah apa yang telah membuatnya.

Hutan tidak terlalu jauh dari kampungku -atau sebenarnya terlalu jauh bagiku- tetapi anak-anak dilarang orang tuanya pergi ke sana. Hanya orang-orang pencari kayu bakar atau pemburu babi hutan yang sering ke sana. Dan kami bukan salah satu dari mereka, kami hanya dua orang yang ingin tahu, ingin merasakannya. Apakah keingintahuan sebuah kesalahan?

"Kita istirahat dulu di sana," kata Rani sambil menunjuk pada saung kecil, kemudian dia setengah berlari.

"Kenapa?" tanyaku ketika duduk. Rani yang sedang sibuk mengeluarkan sesuatu dari tasnya mendadak berhenti, dia menatapku seakan-akan ada yang salah.

"Kenapa?" ulang Rani terheran. "Robert, ini masih sangat pagi. Kita masuk ke hutan setelah matahari tampak. Apakah kau tidak tahu bahwa di dalam sana masih gelap."

Rani memutarkan pandangannya, aku mengikuti, dan tampak beberapa orang berjalan di galengan. "Mereka tidak akan mengenali kita. Jadi kau tak usah khawatir akan ada yang mengadukannya pada bundamu."

"Kita sarapan dulu," tambahnya sambil menyerahkan sepotong roti padaku.

"Aku tak biasa makan pagi," tolakku halus.

"Baiklah. Tapi aku tak bisa tak makan pagi."

"Makanlah yang banyak," kataku. Aku berdiri kemudian berjalan di dekat saung, memperhatikan ke sekeliling. Sejauh mata memandang sawah yang luas, terlihat hijau, tinggi yang sama, dan menyegarkan meskipun sebagiannya masih tertutup kabut. Gunung-gunung megah pun masih terlihat samar, terhalang oleh kabut. Di depanku, tidak jauh dari tempat kami berhenti, pohon-pohon besar terlihat seperti gerbang masuk ke dalam hutan.

Sekonyong-konyong aku tersenyum. Kemana saja aku selama ini. Sesuatu yang begitu indah tidak jauh, di dekat kita. Sangat dekat. Aku yakin akan terlihat lebih indah ketika matahari mulai menampakan dirinya, sinarnya akan menyapu kabut dan menampakan sawah-sawah atau gunung yang masih diselimutinya. Mereka akan menampakan wujud aslinya.

"Ran?" panggilku sambil mendekat. Rani terlihat sedang mengunyah sesuatu. "Entah aku yang bodoh, tidak tahu, atau apalah sebutannya. Tempat kita seperti di dunia dongeng." Aku duduk di sebelahnya. Rani mengangkat sebelah alisnya, tampak bingung.

"Apa kau tak pernah keluar, melihat ke sekelilingmu, memperhatikan apa-apa yang ada didekatmu..."

"Sangat disayangkan Robert, Tuhan telah menciptakan ini semua. Keindahan ini."

"Keindahan yang abadi," sahutku.

"Tidak," elak Rani, "tidak ada yang abadi di dunia ini. Alam pun bisa rusak dan tidak akan lagi sama."

Aku paham maksudnya. Rani pernah bercerita bahwa setahun yang lalu, sebelum pindah, dia telah kehilangan kakeknya. Kakek yang sangat disayanginya. Setiap pagi kakeknya akan mengantarkannya ke sekolah. Dan setiap siang akan menunggunya di teras rumah, kemudian menemaninya belajar meskipun sebenarnya lebih banyak mendengarkan cerita-ceritanya. Setiap sore Rani akan diajaknya jalan-jalan, diboncengnya menggunakan sepedah onthel. Apapun yang Rani inginkan akan dituruti. Sampai kebahagian itu, kebahagiaan yang menurut Rani abadi, begitu saja hilang ketika kakeknya harus kembali pada sang Pencipta.

***

Matahari mulai menampakan dirinya dengan malu-malu, sinarnya yang oranye terasa hangat. Sawah-sawah mulai terlihat jelas dan gunung-gunung yang tadi bersembunyi juga terlihat. Sejauh mata memandang terlihat sawah, orang-orang, beberapa kerbau, saung, pohon-pohon di depan hutan, dan berhenti pada gunung. Di belakang gunung terlihat gunung yang lebih besar lagi dan di sekeliling juga sama.

Kami sampai di jalan besar depan hutan, jalan yang dipinggir-pinggirnya tampak rumput liar. Sekitar 20 meter -di depan kami- terlihat seorang wanita paruh baya sedang memungut ranting-ranting pohon. Aku dan Rani saling pandang.

"Hutan bukan milik siapa-siapa, sudah ada sejak dulu. Jadi jangan terlihat seperti orang yang sedang melakukan kesalahan. Siapa pun bebas memasukinya, mengambil apa yang diinginkannya."

Bukan itu, tetapi aku merasa telah membohongi bunda.

Jarak kami hanya beberapa meter dengan wanita paruh baya itu, kami terus berjalan, pura-pura tidak mengetahui keberadaannya, melewatinya ketika sebuah pertanyaan terlontar begitu saja.

"Hey, kalian, anak-anak mau pergi kemana?"

Aku menatap Rani. Rani terlihat tenang, dia membalikan badan kemudian menjawab.

"Saudara kami sedang menunggu di depan. Kami akan mencari kayu bakar dan jamur."

Wanita paruh baya itu tampak curiga. "Sudah sejak tadi mencari kayu bakar, tidak melihat seseorang lewat jalan ini."

"Memang benar. Saudara kami lewat jalan lain. Kami sudah beberapa kali ke hutan ini, kami tahu di mana mereka menunggu. Mari, Nek." Rani pergi sambil menarik lenganku.

"Kenapa kau berbohong?"

"Berbohong untuk kebikan bukanlah hal yang salah."

Berbohong untuk kebaikan? Kata-kata itu berputar di kepalaku meskipun begitu kakiku terus mengikuti langkah Rani.

Kerikan jangkrik, burung yang saling menyahut, angin yang menghembus pelan, semua itu terdengar menenangkan, siapa saja akan menyukainya. Matahari memang sudah menampkan dirinya tetapi sebagian cahayanya terhalang dedaunan yang tampak lebat dan hutan pun terasa lembab atau karena malam tadi hujan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Rani, menolehku.

"Ya," jawabku ragu.

"Percaya, kau tidak akan pernah melupakan perjalanan ini. Perjalanan pertamamu, kan?"

Rani benar, sampai sekarang aku masih mengingatnya. Bahkan meskipun tidak aku tulis di buku harian, ingatan itu tetap tidak akan hilang.

Rani berhenti. Dia mengeluarkan tali rafia dari dalam tasnya, memotongnya, kemudian mengikatkan pada sebuah pohon kecil. "Kita kasih tanda. Supaya tidak tersesat."

Kami semakin masuk ke dalam, sedikit-sedikit sinar matahari menerobos masuk, terlihat lebih cerah, dan burung-burung semakin ramai berkicau. (Sekarang, ketika aku menulis naskah ini, burung-burung di hutan itu sudah langka oleh perburuan liar. Bahkan hutannya seperti tempat yang boleh siapa saja kunjungi tanpa terkecuali, seakan-akan tidak ada hal yang membahayakan). Setiap beberapa meter Rani mengikatkan tanda pada pohon ataupun pada akar besarnya yang menjulang keluar. Hutan ini terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia, memiliki berbagai pohon campuran. Semak-semak dan rumput liar pun tumbuh di mana-mana bersatu dengan daun-daun coklat yang menutupi tanah.

"Kita istirahat," kataku, merasa sudah lama berjalan.

"Baik."

Aku duduk di batang pohon besar yang telah tumbang, Rani di akar besar yang menjulang keluar.

Lihat selengkapnya