1992.
SMA tidak banyak yang berubah dengan kehidupanku selain buku, mengarang cerita, mengambil gambar, dan duduk di atas genting kamar ketika malam sambil melihat jauh ke sana. Jauh dan gelap, tempat yang belum pernah kuketahui.
Pagi di hari Minggu setelah gerimis, oma, ibu ayah, datang berkunjung. Bunda mencium tangannya begitu juga denganku. Dia wanita berdarah Belanda, ayah mendapatkan apa yang ada pada dirinya kecuali mata. Mata ayah coklat sedangkan oma biru. Dan ayah padaku menurunkan hidung, rahang, dan rambut, itu yang kudengar dari orang-orang.
Kami di ruang tamu, oma dan bunda mengobrol -hal yang menyenangkan- dan aku berbicara jika ditanya. Beberapa menit kemudian oma memberi tahu bahwa ayah terserang strok. Sekonyong-konyong hening. Aku dapat melihat dari mata bunda dan oma ada air menggenang yang kapan saja bisa keluar. Dan juga pada mataku yang terasa panas. Dan perasaan ini... aku tidak tahu bagaimana menuliskannya.
Oma pulang tidak lama setelah memberi tahu kabar buruk itu.
Malamnya bunda masuk ke kamarku. Aku sedang di atas ranjang, menyandar pada sandarannya sambil melamun. Pagi itu sampai malam, aku malas melakukan apa pun selain memikirkan ayah.
Bunda duduk di tepinya, air mukanya tampak sedih. Kabar tadi pagi sangat memengaruhinya. Bunda tidak akan pernah bisa menyembunyikan itu.
"Bunda sayang ayahmu... selalu." Suaranya pelan dan berat.
"Tetapi takdir tidak bisa dirubah. Kami harus berpisah. Kami tidak berjodoh," sambungnya.
"Kau dengar apa yang oma katakan tadi pagi. Ayahmu setiap hari terlihat menyedihkan... dia sangat kesepian. Bunda sayang padamu tapi dia ayahmu. Darahnya mengalir di dalam tubuhmu."
Aku tahu bunda hanya mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya. Dan dia terlihat sangat kesulitan.
"Robert... Nak, kau sudah besar-"
"Aku paham," selaku. Aku tidak mau melihat bunda tersiksa dengan kata yang tidak mau diucapkannya. Yang menyakitkannya. "Aku akan tinggal bersama ayah. Menemaninya."
Bunda memelukku. "Bunda sayang kau, tetapi ayah sedang membutuhkanmu."
"Setiap bulan aku akan pulang."
"Jangan membenci Bunda." Dalam isaknya bunda mengatakan itu.
"Tidak Bunda. Itu perasaan yang tidak akan pernah ada."
***
Bunda mengantarku ke rumah ayah disetiri oleh Mang Edi. Bunda meminta pada ayah tiriku untuk membiarkan hanya kami yang pergi.
Rumah ayah di sebelah selatan dari Garut kota. Rumahnya bergaya klasik dengan bangunan yang didominasi oleh kayu jati. Halamannya luas, ditumbuhi oleh rumput yang tampak terawat. Beberapa pohon berjajar di samping sebagai pembatas halaman. Awalnya rumah itu sebuah vila semi permanen, kemudian ayah merubahnya menjadi permanen. Rumah itu sekitar 4 km dari rumah oma. Ayah sengaja membangunnya untuk menyendiri. Kata ayah, manusia terkadang perlu sendiri, menikmati waktunya, atau menyembuhkan lukanya.
Rumahnya tampak sepi. Setelah bunda mengetuk pintu barulah ada yang menyahut dan beberapa detik kemudian pintu terbuka dari dalam. Sunggingan manis oma tampak indah ketika matanya menemukan kami.
Oma mengajak masuk setelah mencium kedua pipiku. Dari dulu oma suka melakukannya. Entah kenapa. Sementara Mang Edi menunggu di luar, mungkin sambil merokok.
Oma ke belakang dan tidak lama dari itu kembali sambil membawa minuman dan makanan di nampan. Oma menghidangkan sebagiannya di luar –untuk Mang Edi- sebelum bergabung dengan kami. Dia duduk di sebelahku sambil memegang tanganku.
"Di mana Kang Dani?" tanya bunda.
"Di halaman belakang. Dia suka sekali duduk di sana."
"Boleh Jayanti melihatnya."
"Tentu Anakku," oma sudah berdiri, "Oma tunjukan."
Kami bertiga ke belakang. Aku dapat melihat punggung ayah. Dia sedang duduk di kursi roda sambil menatap ke suatu tempat. Tidak bergerak, sangat khusu, meskipun -aku yakin- dia bisa mendengar suara kaki kami.
Oma berhenti. Kami mengikuti. Bunda menolehnya, oma mengangguk seperti memberi kode. Bunda mendekat pada ayah, aku dapat melihatnya dia mengambil tangan ayah kemudian menciumnya. Bunda terlihat manangis dan aku tidak suka melihatnya. Aku minta diri untuk kembali ke dapan.
***
Bunda pulang setelah kami makan bersama. Ayah dan oma mengantar sampai depan rumah dan aku sampai depan mobil. Bunda memelukku sambil menangis. Aku tidak suka bunda memperlakukanku seperti itu, seakan-akan adalah pertemuan terakhir kami.
"Jaga kesehatanmu. Jaga ayahmu."
Itu kata terakhir bunda.
Ketika aku kembali oma tersenyum, wanita itu memang murah senyum. Dan ayah mungkin juga sama hanya saja karena mulutnya terganggu oleh penyakitnya jadi tidak tampak ekspresinya. Air mukanya seperti tidak pernah berubah, bahkan suaranya tidak terdengar dengan jelas, sangat tidak bisa dimengerti. Hanya matanya yang dapat aku pahami, mungkin juga bisa salah.
Aku ke kamar untuk membereskan baju, dibantu oleh oma. Oma sebelumnya tidak tahu bahwa aku akan tinggal bersamanya. Dan tidak meminta, aku dan bunda mengerti dan sudah memutuskannya.
Oma, kata ayah tidak pernah mengekang anaknya. Dia lebih banyak mencontohkan daripada menyarankan. Sungguh oma yang baik. Aku suka dengan sikapnya meskipun terkadang banyak bicara. Tetapi wanita berdarah Belanda itu memang baik, pada siapa saja, dan pekerja keras seperti bunda.
Untuk sekolahku, ayah tiriku sudah mempersiapkannya. Dia mungkin besok atau lusa akan mendaftarkanku di sekolah baru. Sementara sekolah lama aku tinggalkan. Tanpa pamit pada guru ataupun teman-teman. Teman-teman? Aku merasa tidak pernah mempunyai teman dan sekarang harus hidup jauh dari pemukiman orang. Dari kota untuk sampai ke rumah ayah harus melewati beberapa hutan kecil yang terbentang di setiap pinggir jalan yang menuju ke daerah Garut Selatan. Melewati jalan yang tampak sepi dan berkelak-kelok. Tetapi aku mulai menyukai tempatnya. Kenapa dulu tidak merasakan hal yang sama ketika setiap berkunjung ke rumahnya.
"Kau cepat sekali tumbuh," kata oma sambil memasukan baju ke dalam lemari, "atau Oma saja yang jarang bertemu denganmu."
"Maafkan Robert, Oma. Maafkan cucu Oma yang jarang mengunjungi Oma."
"Jangan mengatakan itu lagi," sahut oma. "Kau cucuku satu-satunya."
Aku akan menceritakan sedikit tentang keluarga ayah. Ayah adalah anak tunggal. Dia piatu ketika berumur 17 tahun. Ibunya –oma- berdarah Belanda dan ayahnya asli Sunda. Mereka bandar sayuran, salah satu pemilik ladang yang luas, pemilik tempat penggilingan, peternakan ayam, ayam petelur, dan juragan tanah. Mungkin dulu ayah dan bunda bertemu dalam urusan pertanian, jika aku boleh menduga-duganya, tetapi ayah adalah seorang pegawai di pemerintahan. Entahlah, sampai sekarang aku tidak tahu kapan, di mana, dan bagaimana mereka bertemu.
Oma berbeda dengan bunda, dia mempercayakannya pada beberapa orang yang sudah bekerja lama padanya. Dia hanya mengecek pembukuan. Iya, dia terlalu tua juga jika harus terlibat di lapangan. Dan ayah, sekarang pensiun muda karena penyakit yang menyerangnya.
Oma berdarah Belanda. Rambutnya pirang -sekarang putih- kulitnya putih dan terlihat beberapa bintik coklat. Meskipun sudah tua, oma tetap terlihat cantik.
Oma tinggal di rumahnya, sendiri. Tetapi ketika ayah terserang struk, oma menemaninya. Anak segala-galanya daripada apa pun. Itu yang sering aku dengar dari bunda. Dan oma juga pernah mengatakannya.
***