JEJAK

galih faizin
Chapter #8

Tentang Perempuan

Aku menunggu Mang Koman di depan gerbang. Tidak tahu ke mana laki-laki itu, batang hidung bahkan mobilnya pun tidak terlihat. Atau dia tersesat, sangat konyol jika itu benar.

"Robert, apa kau sedang menunggu jemputan?" tanya Maria seakan bisa menebak isi kepalaku. Perempuan itu sudah berada di sebelahku.

Aku mangguk. "Kau sendiri?"

"Aku akan naik angkot. Jika-"

Kalimat Maria terpotong oleh pertanyaan Jessika. "Robert, kau pulang ke mana? Aku bisa mengantarmu." Dia baru turun dari mobil, di balik pengemudi kulihat seorang laki-laki paruh baya berkumis lebat.

"Kalau begitu aku duluan," pamit Maria sambil berlalu, dia berjalan ke arah utara.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

Mang Koman datang tergesa-gesa. "Den, maaf, ban mobilnya bocor-"

"Robert," ralatku.

"Aku duluan," pamitku pada Jessika sambil berjalan ke arah mobil.

"Geulis pisan, Den. Kaya artis. Cocok pokona mah...."

"Mang, panggil nama saja, tidak perlu menggunakan kata Den...."

***

"Bagaimana hari pertama kau di sekolah? Apa kau merasa terganggu dengan gadis-gadis di sana?"

Aku mengernyit.

Oma tersenyum. "Oma tahu. Bahkan seorang pegawai tata usaha telah jatuh cinta padamu, dan siapa yang tidak? Kau gagah, tampan, hanya saja kau kurang suka bergaul. Oma sudah memberi tahu, sepintar apa pun orang, tak akan bisa hidup sendiri."

"Dan kau tidak menyukai ocehan Mang Koman," sambungnya. "Tetapi kau harus tahu, laki-laki itu, Mang Koman, laki-laki yang baik. Oma telah banyak berhutang padanya. Jika tak ada dia, Oma akan kerepotan mengurusi semuanya. Jangan kau membenci orang itu."

"Tidak Oma, aku tidak pernah membenci orang." Aku tidak membenci hanya tidak menyukai ocehannya, tidak lebih dari itu.

"Itu ajaran bundamu. Oma tahu. Bagus, contohlah bundamu. Dia wanita hebat."

Waktu makan malam ibu tiriku tidak terlihat -belum pulang-. Aku menoleh pada kursi yang biasa ditempatinya.

"Jangan pedulikan dia. Dia bukan siapa-siapa kau."

Aku melanjutkan makan.

"Dia tidak akan kembali ke rumah ini. Seluruh barangnya sudah dibawa. Bagus, sekarang di rumah ini tidak ada lagi penyakit."

Aku diam. Aku tidak mau mencampuri urusan oma dengan menantunya.

"Oma tidak menyangka kau akan tinggal di sini. Seperti mimpi. Bundamu kah yang memintanya?"

Aku mangguk. "Dan keinginanku sendiri. Sudah seharusnya aku melakukannya."

Oma tersenyum. "Wanita hebat dia. Bundamu itu. Jika ayahmu mau sabar, mau menerima kekurangannya- bagi Oma kelebihannya, mungkin kita sekarang akan berkumpul. Tapi percuma. Tidak boleh. Tidak boleh berandai-andai pada sesuatu yang sudah terjadi."

"Iya, Oma."

"Robert...," gumam oma 2 menit kemudian. "Oma tak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk membicarakannya atau bukan. Tetapi kau harus mendengarnya... mati di tangan Tuhan. Muda atau tua. Sakit atau sehat. Tetapi yang tua dan sakitlah yang paling dekat dengan kematian. Jika Oma mati makamkanlah di sebelah suami Oma, kakekmu yang tak pernah kau lihat. Dan ayahmu berpesan untuk dimakamkan di belakang rumah ini."

"Jangan berbicara seperti itu Oma. Terlalu jauh."

"Tidak, hal seperti ini harus dibicarakan... Oma tak mempunyai kerabat. Semua yang di sini adalah saudara jauh kakekmu."

Oma meneguk air kemudian melanjutkan.

"Kau cucuku satu-satunya. Semua yang kupunya adalah milikmu, Oma sudah menuliskannya atas namamu. Rumah ini, perkebunan, tanah, penggilingan padi, peternakan ayam, semuanya milikmu. Tanggung jawabmu kelak."

Aku menelan ludah. Sekonyong-konyong ada besi ratusan ton di kepalaku.

Lihat selengkapnya