JEJAK

galih faizin
Chapter #10

Berkelahi

Aku mendongak ketika seseorang memanggilku.

"Kau akan mengambil kegiatan apa? Biar aku membantumu."

"Tidak ada."

"Selain akademik, non akademik pun kau harus ikut."

"Aku sudah mengatakannya. Apa kau tak mengerti juga."

"Aku hanya berusaha berbuat baik pada seorang teman. Tapi kau memperlakukanku seperti ini."

"Seperti ini?"

"Apa di sekolahmu dulu tidak diajarkan cara menghargai kebaikan orang?"

Aku diam, mengakui pernyataannya.

"Sikapmu kasar, kontradiktif dengan... kau seperti bukan kau...."

"Laki-laki memang tidak pernah mengerti. Tidak dapat melihatnya, atau hanya perasaanmu saja yang sudah membeku."

"Sekarang kau tahu dan seharusnya tahu juga apa yang harus kau lakukan."

Jessika tidak menjawab, dia kembali ke mejanya, bergabung dengan teman-temannya.

"Kau telah membuatnya marah," bisik Ipan.

"Setidaknya aku sudah membuat satu kebaikan."

"Kebaikan?"

"Dia tidak akan menggangguku lagi."

"Untukmu bukan untuknya. Kau bisa melakukannya dengan lembut, bukan seperti tadi."

"Dia harus tahu, lebih cepat lebih baik...."

***

3 laki-laki menghampiri ketika aku sendiri di dalam kelas. Orang yang paling besar, aku menduga pimpinan mereka, meyakinkan namaku.

"Kau benar." Aku menjawab.

"Ikut kami!" perintahnya.

"Ada apa?"

Dia tidak menjawab tetapi memberi kode pada kedua temannya. Mereka menarikku dengan kasar. Aku menepisnya. Mereka melakukannya lagi, lebih kasar. Terlihat orang-orang –di pintu- menengok ke arah kami. Sialan, dikira aku sebuah pertunjukan sirkus.

"Aku bisa sendiri," kataku sambil menepisnya kemudian merapihkan seragamku yang diremasnya.

Mata orang-orang tetap mengekor pada kami saat kami meniggalkan kelas. Mereka membawaku ke lantai dua, paling ujung. Kemudian masuk ke sebuah kelas kosong, terlihat seperti sebuah gudang. Banyak meja, kursi, papan tulis, atau benda lain setengah rusak di dalamnya.

Sekonyong-konyong pemimpinnya memukul perutku. Aku ambruk, hanya bisa berdiri dengan lutut sambil membungkuk, memegangi perut yang terasa nyeri.

"Sakit?"

Aku mendongak.

"Perasaan Jessika lebih sakit daripada itu," tambahnya sambil menendangku, membuatku tersungkur.

"Apa kau tidak diajarkan cara menghormati orang lain oleh ibumu? Apa ibumu sekolah? Kata orang-orang ibumu menikah dengan laki-laki Belanda... atau jangan-jangan ibumu hanya seorang wanita simpanan. Wanita berguna jika hanya dibutuhkan setiap malam."

Aku bangkit kemudian menghujaninya dengan tinju. Dia tersungkur, tampak kaget dengan aksiku yang tiba-tiba. Aku terus menghujaninya sampai tubuhku ditendang dari belakang. Kedua temannya memegangiku kemudian orang yang kupukuli, yang hidung dan bibirnya mengelurakan darah, secara brutal menghujani wajahku dengan tinjunya. Aku tidak bisa menghindar, cengkraman kedua temannya terlalu kuat.

Seseorang membuka pintu, berlari ke arahku dan berusaha menghentikan mereka. Tetapi tidak berhasil, perempuan itu, yang mencoba membantuku terpukul sampai terpental ke samping. Beberapa orang datang, salah satu dari mereka mencoba melepaskannya sambil mengatakan berhenti. Barulah orang-orang yang mengoroyokiku berhenti. Hidung dan bibirku sudah berdarah sampai menodai seragam.

Tidak lama semakin banyak orang-orang yang datang. Aku dan mereka, Jessika dan Maria yang mencoba menolongku di bawa ke kantor. Kami duduk di sofa, di depan kami kepala sekolah dan beberapa guru dengan air muka kecewa menatap kami saling berganti.

"Apa yang sudah kalian perbuat? Seperti bukan seorang pelajar saja."

Tidak ada yang menjawab.

"Kevin?" tanyanya lagi, matanya terfokus pada laki-laki, pemimpin, yang memukuliku.

"Orang salah sudah seharusnya diberi pelajaran. Dihukum."

"Orang salah? Siapa yang salah?"

"Dia sudah menyakiti Jessika."

Jessika sekonyong-konyong menangis sambil menutup wajahnya, dia terlihat terkejut dengan pengakuan orang itu.

"Oh, anak muda...."

Hening beberapa detik.

Lihat selengkapnya