JEJAK

galih faizin
Chapter #11

Rumah Maria

Mang Koman terlihat terkejut ketika melihat noda darah di kemeja seragamku. Dia bertanya seperti orang kesurupan, tanpa koma tanpa jeda.

Aku tidak menghiraukannya. "Mamang pernah ke hutan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Hutan?"

"Hutan belakang rumah."

"Belum. Tapi hutan lain pernah."

"Melakukan apa di sana?"

"Berburu babi hutan."

"Pakai senapan?"

"Pakai anjing."

"Buat apa babinya jika Mamang mendapatkannya."

"Berburu babi hanya buat senang-senang, melatih anjing. Dapat syukur tidak juga teu nanaon."

"Sekarang masih suka berburu?"

"Sekarang mah tidak. Mamang berhenti main-main semenjak menikah. Seperti punya tanggung jawab besar."

"Boleh tahu Mang Koman menikah ketika umur berapa? Maaf telah menanyakannya." Aku menjadi cerewet, berharap dia lupa dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tidak ingin kujawab.

"18 tahun."

"Hah?"

"Istri Mamang 14 tahun."

"Hah?"

***

Oma terkejut. Aku sudah menduganya.

"Kenapa kau?"

"Berkelahi."

"Apa masalahnya selesai?"

Aku menggeleng.

"Lain kali tak usah kau layani. Mereka yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan tak pernah benar-benar menyelesaikannya."

Aku diam.

"Sudikah kau memberi tahu Oma apa yang telah terjadi?"

"Orang itu menghina bunda."

Oma –mungkin- mengumpat dalam bahasa Belanda yang tidak aku mengerti, hanya bisa menduga dari air mukanya yang penuh amarah.

Kemudian menambahkan, "Bundamu... menantuku... apa yang membuatnya melakukan itu."

"Terlalu rumit untuk diceritakan, Oma."

"Memang mulut tak pernah disekolahkan dan tak akan pernah bisa disekolahkan. Kau tak boleh seperti itu. Sangat tak baik. Sekarang mandilah, Oma tak suka melihat kau seperti itu. Seperti seorang preman."

Ayah tetap sama. Tidak ada kemajuan selain tubuhnya yang semakin kurus. Tulang-tulang di dadanya semakin hari semakin tampak. Ayahku yang dulu gagah sudah berubah, seperti motivasi hidunya telah diambil seseorang bahkan untuk berbicara pun tidak ada kekuatan. Dan aku, anak satu-satunya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengajaknya berbicara yang tidak pernah dibalas selain oleh air mukanya yang sulit ditebak, atau menemaninya di belakang rumah (ayah lebih sering dirawat oleh orang suruhan oma, itu karena aku harus sekolah dan pulang terkadang ketika ayah sedang tertidur).

***

Ketika malam, malam yang sangat sepi karena hanya aku dan oma -ayah selalu lebih dulu berada di kamarnya-. Aku meminta izin untuk pergi ke rumah seorang teman.

"Itu hak kau. Tak ada yang bisa melarang."

Aku diam. Oma tampaknya mengerti.

"Kau jangan merasa bersalah. Kau bukan anak durhaka, kau anak yang baik. Tak salah jika kau pergi mengunjungi temanmu. Di rumah ada Oma dan yang membantu merawatnya."

"Ibunya adalah teman dekat bunda. Dia dulu satu sekolah denganku tetapi pindah sebelum lulus SD. Kami sekarang bertemu lagi." Aku merasa lebih banyak berbicara ketika bersama oma. Karena dia bukan wanita membosankan yang sok tahu.

"Tampaknya kau menyukainya."

Aku yakin wajahku terbakar.

"Tak akan ada perempuan yang bisa menolak ketampananmu. Bahkan Dewi-dewi akan tergila padamu."

"Oma berlebihan."

"Tidakkah kau pernah bercermin?"

"Itu berlebihan, Oma."

"Itu dari bundamu. Kau selalu merendah. Dan dari ayahmu, kau selalu terlihat pendiam meskipun begitu kata-kata yang keluar sangat tajam...."

"Kau tampaknya memiliki pengetahuan yang lebih daripada anak seusiamu."

"Berlebihan, Oma."

"Tidak, itu pujian yang wajar. Oma tahu kau selalu menghabiskan waktu sampai larut malam untuk membaca buku-buku. Kau tampaknya tertarik, punya ikatan dengan huruf-huruf yang tercetak di dalam kertas itu."

"Semua jawaban ada di dalamnya. Kita tidak akan pernah tersesat. Seperti penerang di mana pun."

Oma tertawa pelan. "Kau benar-benar Dani kecil."

***

Lihat selengkapnya