"Kau terlihat memiliki masalah," kata Oma.
"Aku baik-baik saja."
"Tak ada orang yang baik-baik saja tapi matanya sepertimu, tampak kecewa."
"Aku kecewa pada diriku sendiri."
"Bukankah itu bijak?"
"Jika boleh tahu, apa yang membuatmu seperti ini? Oh maaf, wanita tua ini terlalu banyak berbicara."
"Tidak, Oma. Aku senang berbicara dengan, Oma."
"Jadi, apa kau akan memberitahunya?"
Aku ragu. Akan terlihat memalukan jika oma mengetahuinya.
"Tak usah memaksakan... bagaimana dengan motornya, apa kau mengendarainya dengan benar?"
"Iya Oma. Benar dan hati-hati."
Oma mangguk. "Oma akan ke tempat penggilingan, kau jangan lupa makan."
"Iya, Oma."
Aku membuka pintu kamar ayah, sangat pelan, kutengok dia melalui celah yang terbuka sedikit. Ayah terlihat sedang tertidur, tampak tenang dan aku berharap seperti itu. Jika dengan tidur dapat membuatnya bahagia, maka tertidurlah dan mimpikan apa-apa yang dapat membuat kau seperti laki-laki paling beruntung di dunia ini, ayah.
Aku mandi kemudian ke belakang, berdiam di sana sambil membaca buku. Tempat yang sangat nyaman, siapa pun akan menyukainya. Tetapi aku tidak bisa fokus, bayangan kejadian di rumah Maria memenuhi kepalaku. Bodoh. Dan kenapa Maria tidak menjawab pertanyaanku, apa dia tidak menyukaiku atau aku bukan lelaki yang pantas untuknya, terus apa arti pengakuan ibunya bahwa dia sering membicarakanku, mengagumiku? Terus pendapat Ipan? Aku merasa tolol, aku mengikuti pendapat mereka sementara aku bisa membuatnya sendiri. Dan pendapatku sama dengan mereka. Jadi kenapa? Lagi-lagi pertanyaan bodoh itu datang.
Jika oma tahu, jika bunda tahu, anak laki-laki yang mereka anggap tampan, gagah, bisa membuat perempuan mana saja jatuh cinta, harus gagal dalam cinta pertamanya. Cinta sialan yang membuatku menjadi seperti orang yang tak tahu jalan pulang. Belum pernah aku mengalami kerumitan seperti ini.
Ketika malam aku tidak membaca buku seperti biasanya, aku hanya melamun. Memikirkan kejadian tadi siang yang tidak mau pergi dari kepala. Tidak ada penyesalan dalam diriku karena sudah mengatakannya. Bukankah penyesalan yang sebenarnya ketika sebuah pengakuan tidak pernah tersampaikan, tidak pernah diketahuinya. Aku yakin setiap orang pernah mengalaminya, atau ini hanya alasanku supaya tidak terlihat menyedihkan gara-gara cintanya bertepuk sebelah tangan. Ipan memang salah atau mungkin juga benar, tetapi aku tolol.
***
Sekarang Maria tidak sekolah, aku merasa bersalah dan entah untuk alasan apa.
"Kau kemarin pulang dengannya dan sekarang dia tidak sekolah, apa yang sudah kau perbuat?" tanya Ipan setengah berbisik.
"Tak ada," jawabku.
"Aku tahu bahwa kau sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi aku juga tidak akan memaksa supaya kau akan menceritakannya." Ipan tertawa kecil, dia terlihat sedang melucu dengan kalimatnya yang tidak lucu.
Istirahat Ipan mengajakku ke rooftop, aku menolak dan dia pun membatalkan niatnya. Ketidak hadiran Maria membuat perasaanku menjadi buruk. Aku memilih menenggelamkan kepala pada tas yang kusimpan di atas meja sebagai alas, sementara tanganku kumasukan ke dalam saku.
Seseorang –mungkin Ipan- menyikut lenganku. Kemudian aku mendengar seseorang mengatakan, "Oy, you!"
Aku bangun dan sudah mendapati Rangga di depanku. Air mukanya tampak aneh.
"Apa yang telah kau lakukan bersama Maria kemarin?"
"Aku berkunjung ke rumahnya."
"I say you... jangan mengganggunya lagi."
"Aku tidak mengganggunya."
Tatapannya semakin aneh.
"Kau jauhi dia!"
"Itu keinginanmu bukan keinginanku."
"Aku katakan sekali lagi untuk menjauhinya. Jika tidak.... you will be regret."
Aku kembali menenggelamkan wajah pada tas di atas meja. Tampaknya dia tersinggung dengan sikapku karena sekonyong-konyong menarik ranselku, membuat kepalaku terbentur di meja. Orang-orang sudah memperhatikan kami. Ipan, yang duduk di sebelahku tampak khawatir.
"Sudahlah Rangga," bujuknya.
"Be quiet! It's none of your business."
Kemudian Rangga meremas kerahku. "Listen very well... jauhi dia. Jika tidak, kau akan menyesal."