"Aku akan terlambat pulang. Berencana pergi ke rumah teman."
Oma tersenyum. "Oma senang mendengarnya. Kau harus bergaul. Tak baik tak punya teman. Ta...." Oma tidak melanjutkan.
"Ada apa Oma?"
Oma menggeleng.
***
Maria semakin berubah. Kami tidak saling berbicara dan seolah-olah dia menjauhiku. Seperti Rani, teman kecilku. Kenapa kehidupanku seperti ini. Dijauhi oleh setiap perempuan –teman dekat- tanpa alasan sampai aku sendiri harus menduga-duganya, kesalahan apa yang sudah kuperbuat. Kehidupan yang menyedihkan. Belum lagi setiap malam ketika aku melihat oma masih bekerja, pikiran tentang usahanya langsung memenuhi kepalaku. Bagaimana mungkin aku membiarkan wanita yang sudah tua itu bekerja, mengurusi banyaknya laporan. Tetapi aku hanya ingin menjadi pengarang, aku mengingatkan diri sendiri. Bebas. Tetapi bayangan-bayangan itu selalu muncul. Aku ingat pesan bunda : Lelaki mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada perempuan. Kau akan menjadi kepala rumah tangga. Kau harus bisa memutuskan setiap pilihan, sebaik-baiknya, seadil-adilnya.
Aku hanya ingin menjadi pengarang. Aku mengingatkannya lagi. Aku merasa senang melakukannya. Bebas. Tetapi... ini benar-benar rumit, kepalaku terasa akan pecah.
"Bolehkah aku main ke rumahmu?" Pertanyaan Jessika mengagetkanku.
"Oh, maaf aku telah mengganggu lamunanmu," tambahnya.
"Ide bagus. Tapi tidak untuk hari ini. Aku akan keluar."
"Tak apa. Aku tunggu jawabanmu secepatnya." Jessika kembali ke kursinya.
Dan sekonyong-konyong kalimat bunda memenuhi kepalaku lagi ; setiap waktu manusia harus menentukan pilihannya, pilihan baik dari yang terbaik... atau hanya menjalaninya. Aku dan bunda setuju tidak akan mengambil pilihan yang kedua karena hidup adalah pilihan.
Sebagai pengarang aku bisa membuat akhir cerita dengan sesuka hati. Sedih, bahagia, atau kedua-duanya. Tetapi dalam realita kehidupan akhir cerita selalu menjadi misteri. Aku harus melewati hari ini, besok, sampai menemukan akhirnya. Dan setelah itu cerita-cerita baru akan muncul. Atau sebenarnya tidak ada yang nama akhir cerita selain kematian. Sebuah kata yang mengerikan. Dan begitulah faktanya. Dan fakta lain adalah beberapa orang takut akan kematian padahal itu hal yang paling nyata, yang paling dekat, sesuatu yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup, tidak akan ada yang bisa mengelaknya. Itu hanya akhir cerita di dunia. Orang-orang hanya akan mengingat apa yang telah kita lakukan, sebagai orang yang baik atau buruk. Hanya ada dua pilihan itu, tidak ada yang lain. Orang-orang akan mengingatnya sampai kapan pun.
Mungkin itukah tujuan bunda memilih menjadi orang yang peduli. Supaya orang-orang mengingatnya sebagai orang yang baik. Tidak, bunda benar-benar melakukan semua itu atas kehendaknya, sangat tulus. Dan dengan sendirinya orang dapat menilai, dalam hati, tidak bisa dipengaruhi oleh apa pun, siapa pun. Dan oma... apakah hidupnya terlihat lebih menyedihkan daripadaku. Dia sama sekali tidak mempunyai sanak saudara. Hanya anaknya, aku, dan mungkin Mang Koman. Orang-orang akan mengingatnya seagai wanita kaya, pemilik penggilingan padi, pemilik sawah dan ladang yang luas, peternakan ayam potong, ayam petelur, dan juragan tanah. Dan tentu kesimpulannya akan mengarah pada satu kalimat. Wanita yang baik. Aku yakin itu.
Dan bolehkah aku tidak menuruti kemauan wanita baik itu? Omaku sendiri? Bukankah hidup sebuah pilihan? Aku percaya itu bahkan bunda yang telah memberi tahunya sudah melakukannya meskipun akhirnya harus berpisah dengan ayah.
***
Orang tua Ipan memiliki toko matrial. Ipan langsung mengajakku ke kamarnya di lantai 2. Di kamarnya terdapat beberapa buku tebal, poster-poster tokoh yang berpengaruh di dunia, dan beberapa aksesoris unik yang terlihat menyimpan unsur sejarah.
"Kamar yang membosankan," katanya sambil menggantungkan tas.
Aku duduk di sofa. "Kau benar. Di sini sangat membosankan. Tetapi kau menyukainya."
Ipan duduk di tepi ranjang. "Apa yang membuatmu mengatakan itu?"
"Karena ini kamarmu."
Ipan tersenyum.
"Kau tahu, aku jarang mempunyai teman... dari kecil. Kau satu-satunya orang yang pernah ke kamar ini..."
"Aku tidak bisa memaksa mereka. Dan kau, kenapa mau berteman denganku?"
"Pertanyaan bodoh. Tidak seharusnya ditanyakan oleh seorang pandai sepertimu. Boleh aku meminjam buku filsafatmu?" tanyaku sambil menuding pada rak bukunya. "Socrates, sudah lama aku ingin membacanya. Pemikir hebat dia."
"Tentu jika kau menginginkannya."
"Terima kasih."