"Dia Ipah, saudara Mang Koman dari jauh. Mulai saat ini akan tinggal di rumah. Membantu Oma."
Gadis itu datang membawa nasi, dia terlihat kikuk ketika menghidangkannya di meja makan.
"Aku Robert," kataku.
"Ipah, A Robert."
"Hanya Robert," ralatku.
"I-iya...."
"Kau cepatlah bergabung dengan kami. Kita makan."
"Tapi Oma."
"Mamang kau keluarga Oma, jadi kau pun begitu."
Ipah duduk dengan kikuk. Dia menunggu kami mengambil nasi dan lauknya kemudian menyusul dengan canggung. Ketika makan, aku tahu dia beberapa kali menoleh padaku.
"Apa cucuku tampan?" tanya oma membuat Ipah terlihat kaget. Tampaknya oma memperhatikan tingkah Ipah.
"Iya Oma," jawabnya pelan, Ipah mulai salah tingkah.
"Apa kau lihat peraempuan yang datang tadi siang? Apa cocok dengannya?"
"Iya Oma."
"Jangan hanya iya, kau harus berani berpendapat."
Ipah semakin salah tingkah.
***
Hari-hari selanjutnya tidak banyak yang berubah. Sekolah, bertemu dengan Jessika dan Ipan, pulang, bertemu dengan orang rumah, menulis, membaca, bersama ayah di halaman belakang rumah, liburan ke rumah bunda, dan balik lagi ke rumah ayah. Jessika terkadang hari Minggu berkunjung ke rumah. Jika sudah seperti itu, kami selalu menghabiskan waktu di belakang untuk menikmati keindahan yang hanya bisa diberikan oleh alam... dan semuanya menjadi lebih indah jika sudah bersamanya.
"Kau pernah ke sana?" tanya Jessika. Ayah sudah bangun, dia ikut bersama kami di halaman belakang.
"Belum."
"Sayang sekali. Kenapa tidak mencobanya?"
"Tunggu sebentar," kataku sambil bangkit.
Aku kembali lalu menunjukan catatanku –daftar tempat yang ingin dikunjungi- seperti apa yang telah kulakukan pada Rani dulu. Jessika menerimanya.
"Kau orang kedua yang tahu..."
Jessika menolehku. "Aku merasa terhormat," jawabnya kemudian kembali pada tulisanku.
"Jadi apa saja yang sudah tercapai?"
"Hutan."
"Kapan?"
"Ketika kelas 5."