Bunda dan ayah tiriku pulang. Ipah juga begitu. Dia berhenti bekerja, digantikan oleh istri Mang Koman yang mulai besok akan tinggal bersama kami.
Aku tidak sekolah hanya menghabiskan waktu di belakang rumah, di tempat biasa ayah berdiam. Aku mlihat pada makamnya, berasa dekat dengan ayah.
Jessika datang, dia duduk di sebelahku.
"Kau bolos?" tanyaku. Sekarang masih pukul 10 pagi.
"Tidak akan membuat orang menjadi bodoh, kan?"
Aku tersenyum simpul.
"Jadi bagaimana kabarmu?"
"Baik."
"Kau tahu, orang yang telah meninggal, yang kita sayangi, yang menyayangi kita, akan selalu ada di dekat kita."
Aku menolehnya.
"Kau harus mempercayainya."
"Terima kasih," ucapku.
"Ini...." Ia menyodorkan selembar kertas yang terlipat.
"Apa?"
"Tidak tahu. Maria menitipkannya."
Aku menerima kemudian menyimpannya di sebelahku.
"Tidak kau baca."
"Mungkin nanti."
Malamnya aku membuka surat dari Maria.
Kembalilah bersekolah.
Jangan biarkan kesedihan menghancurkan hidupmu. Bukankah banyak hal yang ingin kau lakukan.
Suratnya sangat pendek.
"Oma mau berbicara," kata oma, wanita itu sudah ada di pintu. "Boleh Oma masuk?"
"Tentu saja, Oma."
Oma duduk di tepi ranjang.
"Oma tidak tahu pantaskah ini dibicarakan sekarang sementara makam ayahmu pun masih basah."
"Aku akan mendengarnya, Oma."
"Kau tahu, dalam hidup selalu ada sebuah penyesalan. Penyesalan yang terkadang tidak bisa dilupakan seumur hidup. Dan kita selalu menyalahkan masa lalu. Kemudian berandai-andai, hal bodoh, hal yang jelas-jelas tidak akan pernah terjadi. Tetapi begitulah, penyesalan yang tak terlupakan bisa sangat mengganggu. Sampai kapan pun kita dilingkupi rasa kekecewaan karena hanya telah melakukan hal yang salah di masa lalu."
"Kau... kau bebas memilih. Apa pun yang kau sukai. Jangan mengasihani Oma. Selain membuat Oma kecewa juga akan membuat kau merasa telah melakukan kesalahan."
"Aku tidak mengerti."
"Kau mengerti. Sekarang ayahmu sudah bahagia di sana. Oma yakin, kau mau melakukan banyak hal."
"Aku suka tempat ini. Karena... aku suka tempat ini. Aku mau tinggal di sini jika Oma masih mengizinkan."
Oma tersenyum. "Tentu saja, ini rumahmu, dan pabrik penggilingan, tanah-tanah, peternakan, semuanya."
"Oma...."
"Bolehkah aku berkata jujur?"
"Itu harus, jika tidak, selamanya kau akan merasa bersalah."
"Aku tidak suka bekerja atau terlibat dalam usaha Oma. Aku tidak menyukainya. Aku merasa itu bukan kehidupanku."
"Oma sudah menebak jawabanmu."
"Apa Oma marah? Kecewa padaku?"
Oma tertawa pelan. "Apa alasannya Oma marah padamu? Oma tidak akan pernah memaafkan diri sendiri jika menyakitimu. Kau bebas memilih, apa pun itu. Jangan seperti Oma. Banyak yang Oma sesali. Seharusnya Oma melakukan apa yang membuat Oma bahagia, bukankah kita melakukan apa pun supaya kita bahagia. Bukankah tujuan hidup untuk kebahagiaan? Bermanfaat untuk orang lain? Oma dulu hidup penuh ketakutan, takut miskin dan tidak bahagia. Hidup kaya dan terkenal berarti bahagia, tetapi itu salah. Bahagialah mereka yang hidupnya penuh tawa dan canda. Penuh kebaikan...."
"Oma berbeda dengan bundamu. Bundamu punya budi baik, hati tulus. Bundamu ingin melihat orang-orang di sekelilingnya bersekolah, berpendidikan. Dia bekerja banting tulang supaya usahanya tetap berjalan lancar, supaya orang-orang yang bekerja padanya tetap dapat hidup. Itulah kebahagiaan bundamu.
Bundamu hebat, bisa mencintai para pekerjanya layaknya seperti saudara sedarah. Tetapi jangan kau salah sangka, kau tetap sangat berarti bagi bundamu, melebihi siapa pun. Hanya bundamu percaya bahwa kau akan mengerti tentang semuanya. Kau sekolah, kau membaca banyak buku, kau jauh lebih mengerti daripada mereka..."
"Jadi, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku ingin sebuah perjalanan. Aku ingin mengetahui, ada apa di sudut-sudut Negeri ini, jauh di sana. Dan aku akan menuliskannya. Aku hanya ingin menjadi pengarang. Kehidupan yang bebas."
Oma mangguk-mangguk. "Oma sudah memperkirakan hal seperti ini. Oma sudah berdiskusi dengan Mang Koman, dia gemetar setelah Oma menceritakannya, tampaknya dia belum siap. Tetapi Oma akan mengajarinya dari sekarang. Dia akan dibantu oleh anaknya yang sudah lulus SMA. Oma akan membimbing mereka, mengajari segalanya. Kau tetap menjadi pemiliknya, Mang Koman dan anaknya tangan kananmu. Semua perjanjian sudah Oma buat."
"Tapi Oma aku tidak bisa menerima semua itu."
"Jika kau mau berikan pada orang lain pun tak apa-apa. Itu hak kau. Tapi Oma punya keyakinan bahwa kau akan adil dalam segala hal. Itu perjanjian antara Oma dengan Mang Koman. Setelah Oma pergi, mungkin tak lama lagi, kau buat perjanjian baru dengannya."
"Jangan berkata seperti itu Oma."
"Itu sebuah kebenaran."
***
Bunda dan Jessika benar, setelah aku dapat memahami ucapannya, aku dapat merasakannya, ayah terasa dekat. Aku kembali sekolah.
"Senang melihatmu sekolah lagi," kata Ipan.
"Terima kasih."
"Aku khawatir kau akan tenggelam tetapi kekhawatiran itu salah. Kau bisa melewatinya, kau laki-laki kuat, Robert."
"Tidak ada laki-laki kuat jika menyangkut kepergian seseorang yang disayanginya, aku hanya berusaha menerimanya."
"Orang-orang akan menyesal tidak berteman denganmu," tambahku.
Ketika istirahat aku mengajak Maria ke kantin, bergabung dengan Jessika dan temannya. Maria bertatapan dengan Jessika.
"Ikutlah, kami akan senang," kata Jessika.
Maria menerima tawarannya. Kami duduk di meja tengah. Aku, Ipan, dan Maria bersebelahan, berhadapan dengan Jessika dan ketiga temannya.
Beberapa orang, jika aku tidak salah, menoleh ingin tahu pada meja kami. Seorang perempuan menghampiri. Dia mempunyai nama Putri. Perempuan itu bilang, "Kau Robert, kan? Aku turut berduka atas kepergian ayahmu."
"Terima kasih," jawabku.
"Jika kau mau, bergabunglah di meja kami." Putri menunjuk ke mejanya, di sana ada kedua temanya, melambai ke arah kami.