Jejak Aliana

Zakiya NW
Chapter #1

Bab 1 Mafia Tanah

“Loh-loh .... Anda siapa Pak?” Aliana menautkan kedua alisnya setelah melihat dua lelaki asing di lahan rumput liar milik ibunya.

Salah satu lelaki paruh baya bertubuh tinggi gemuk bernama Pak Dodo menjawab, “Kamu tanya saya siapa? Saya yang udah beli tanah ini!’

“Hah beli?” Aliana melongo. Spontan menjatuhkan karung kecil yang berisi bahan dan alat berkebun.

Niatnya ke sini akan menanam bibit jambu kristal, tapi dihadapkan dengan pernyataan yang sangat-sangat mencengangkan. “Maksud Anda?!” ulangnya sembari menyipitkan mata.

Pak Dodo mengeluarkan map dari dalam tas kulit lalu memberikan kepada Aliana. Dibukalah map tersebut yang ternyata berisi sertifikat tanah usang dengan atas nama pemilik sebelumnya, yakni ibu kandung Aliana—Miranda. Di dalamnya berisi sertifikat baru yang dibuat belum lama ini dengan atas nama pemilik sekarang dan surat perjanjian jual beli tanah. Di lembar surat jual beli tanah tersebut, tertera jelas nama ibu kandung Aliana yang menyetujui penjualan dan pembelian lahan rumput ini dengan nominal yang cukup fantastis. Bahkan, tertera di bagian bawah kanan surat, tanda tangan Bu Mira.

Melihat hal ini, dada Aliana tiba-tiba terasa ngilu. Libur kuliah semester enam pulang ke tanah kelahiran dengan niat akan mengisi waktu luang dengan kegiatan produktif. Tapi tiba-tiba di pagi yang cukup cerah ini mendapatkan kenyataan teramat gelap.

Setelah membaca berkas tersebut, Aliana mendongakkan kepala, menatap lelaki yang tubuhnya lebih tinggi darinya.

“Ibu enggak mungkin ngejual tanah ini .… Tadi pagi sebelum Ibu ke pasar jualan mie ayam, Ibu bilang ke saya supaya hati-hati di jalan nuju ke lahan .… Kok biasa-biasanya Anda bilang, tanah ini udah dijual Ibu?!” Sungguh, Aliana masih tak percaya dengan semua ini..

“Tapi bukti sudah terpampang di depan matamu! Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa cek keaslian surat-surat ini ke kantor tanah!” tantang Pak Dodo.

Aliana menggelengkan kepala berkali-kali, seolah berharap semuanya hanya mimpi buruk yang segera usai.

“Nggak mungkin …,” lirihnya nyaris tak terdengar, seperti bisikan lirih dari hati yang remuk. Suaranya gemetar, diselimuti keterkejutan dan penolakan yang dalam.

“Tidak ada yang mustahil,” sahut pemuda yang berdiri di samping lelaki paruh baya itu, tenang namun menyakitkan.

Dengan gerakan kasar, Pak Dodo merebut kembali berkas-berkas penting dari tangan Aliana. Menyilangkan tangan di depan dada, matanya menyiratkan kemenangan yang kejam. Senyuman sinis terukir di bibir, menorehkan luka baru di hati Aliana yang mulai ngilu.

“Angkat kakimu dari sini! Lagian, percuma aja kalaupun kamu ngecek ini di kantor tanah pun, akan sia-sia. Karena surat-surat ini jelas membuktikan tanah ini milik saya!” usirnya dingin.

“Cepat pergi!!!” bentak Remon, putra Pak Dodo dengan nada menghardik yang membuat Aliana tersentak.

Aliana mengambil karung kecil yang tadi dijatuhkan. Perlahan mundur, lalu berlari sekuat tenaga. Napasnya terasa tercekat. Dunia seperti ambruk menimpanya. Air mata jatuh satu per satu, lalu mengalir deras, tanpa bisa dihentikan. Setiap tetesnya membawa duka, kecewa, dan rasa hancur yang tak bisa digambarkan dengan banyak kata-kata.

Langkah kakinya berat tapi terus berlari. Seakan berharap dengan menjauh dari tempat itu, bisa menghilangkan kenyataan pahit yang menyayat. Mimpinya—mimpi sederhana seorang gadis desa yang ingin memanfaatkan tanah kosong untuk menanam harapan—telah direbut secara kejam. Harapan itu kini hancur berkeping-keping, seperti kaca yang jatuh dari ketinggian, menyisakan serpihan tajam di dada. Ia merasa seperti sedang dikuliti hidup-hidup oleh kenyataan.

Sampainya di pasar, tubuhnya mulai lunglai, tapi harus tetap terus berjalan menuju warung mie ayam milik ibunya. Napasnya tersengal sehabis berlari, wajahnya merah, dan bajunya sedikit basah oleh peluh dan air mata.

Bu Mira yang sedang menata mangkuk segera menghampiri, kaget melihat anak gadisnya yang datang dalam keadaan kacau.

“Lia? Kenapa? Kok tiba-tiba ke warung Ibu?” tanya Bu Mira cemas, lalu buru-buru mengambilkan segelas air putih. “Kau tadi bilang mau nanem bibit buah jambu kristal, kan?”

Aliana tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ibunya dengan mata sembab. Suaranya parau, serak oleh tangis yang belum selesai.

“Ibu jual lahan rumput?” tanyanya tiba-tiba, datar namun menyayat.

“Jual?” gumam Bu Mira, seperti tak yakin dengan pendengarannya sendiri. Wajahnya mulai berubah. Keningnya berkerut, jemarinya bergerak gelisah, seolah mencari jawaban yang tersembunyi di dalam ingatan.

“Tapi, Ibu ngerasa nggak pernah jual tanah, kok ….”

Aliana mengatupkan bibirnya, mencoba menahan gejolak emosi. Tapi suaranya tetap terdengar bergetar.

“Tapi kenapa waktu aku mau nanem buah, ada dua orang yang ngaku kalau lahan rumput itu sudah jadi milik mereka, Bu? Bahkan, dia nunjukin sertifikat dan surat jual belinya, dengan tanda tangan Ibu langsung ….” Ia menarik napas dalam-dalam, menahan rasa kecewa yang mengendap di dada. “Coba Ibu inget-inget lagi … Waktu aku nggak ada di rumah, apa yang terjadi berkaitan dengan tanah, Bu?”

Bu Mira menelan salivanya dalam-dalam. Wajahnya memucat. Pandangannya bergerak gelisah, seperti terperangkap. Jantungnya berdebar tak karuan. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Hatinya diliputi rasa takut dan bersalah, tak tahu harus menjawab dengan apa.

“W… waktu itu…,” gumamnya dengan suara yang patah.

Aliana berusaha mendengarkan penjelasan Bu Mira dengan tenang tanpa tantrum.

Lihat selengkapnya