“Loh-loh? Anda siapa Pak?” Aliana menautkan kedua alisnya setelah melihat orang dua lelaki asing di lahan rumput milik ibunya.
Salah satu lelaki paruh baya bertubuh tinggi bernama Pak Dodo menjawab, “Saya yang telah membeli tanah ini.”
“Hah beli?” Aliana melongo, spontan menjatuhkan karung kecil yang berisi alat berkebun. Niatnya ke sini akan menanam bibit jambu kristal, tapi dihadapkan dengan pernyataan yang sangat-sangat mencengangkan. “Maksud Anda?!” tanyanya sembari menyipitkan mata.
Pak Dodo mengeluarkan map dari dalam tas lalu memberikan kepada Aliana. Dibukalah map tersebut yang ternyata berisi sertifikat tanah usang dengan atas nama pemilik sebelumnya yakni ibu kandung Aliana—Miranda, sertifikat baru yang dibuat belum lama ini dengan atas nama pemilik sekarang dan surat perjanjian jual beli tanah. Di dalam surat jual beli tanah tersebut, tertera jelas nama ibu kandung Aliana yang menyetujui jual beli tanah ini bahkan, tertera di bagian bawah kanan surat, tanda tangan Bu Mira.
Dada Aliana terasa ngilu luar biasa membaca surat-surat itu. Sehari setelah wisuda, berniat akan tetap tinggal di desanya demi merintis menjadi petani buah muda. Tapi justru, tiba-tiba di pagi yang cukup cerah ini mendapatkan kenyataan pahit.
Aliana mendongakkan kepala, menatap lelaki yang tingginya jauh lebih darinya.
“Ibu enggak mungkin ngejual tanah ini… Tadi pagi sebelum Ibu ke pasar jualan mie ayam aja, Ibu aja bilang ke saya supaya hati-hati di jalan menuju ke lahan… Kok biasa-biasanya Anda bilang, tanah ini udah dijual Ibu…!” Sungguh, Aliana masih tak percaya dengan ini.
“Tapi bukti sudah terpampang di depan matamu! Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa cek keaslian surat-surat ini ke kantor tanah!”
Aliana menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Tidak mungkin…” lirihnya.
“Tidak ada yang mustahil,” sahut pemuda yang bersama lelaki paruh baya itu.
Pak Dodo merebut kembali surat-surat tanah tersebut, melipat kedua tangannya di depan dada lalu tersenyum menyeringai. “Angkat kakimu dari sini dan bawa bibit yang enggak guna itu! Lagian, percumah aja kalaupun kamu ngecek ini di kantor tanah pun, akan sia-sia. Karena surat-surat ini telah membuktikan tanah ini milik saya!”usirnya.
“Cepat pergi!!!” Bentak Remon, anak dari Pak Dodo.
Aliana mengambil kembali karung dan bibit buah jambu itu, memundurkan langkah kakinya, lalu berlari sekencang-kencangnya dari sini disertai air mata yang telah tergenang di pelupuk matanya. Fakta ini seketika meruntuhkan mimpinya sebagai gadis desa dari keluarga terbatas untuk membuka lapangan kerja bagi orang-orang di sini. Cita-cita besarnya yang didambakan dengan memanfaatkan fasilitas terbatas yang dimilikinya, seketika runtuh—puing-puingnya mengenai ujung kepalanya sampai ujung kaki hingga luka-luka mengenai sekujur tubuhnya.
Aliana berlari masih dengan membawa karung dan bibit buah jambu ke arah pasar. Jika jalan kaki dengan kecepatan biasa, membutuhkan waktu sepuluh menit, jika berlari seperti Aliana meskipun ujung-ujungnya napasnya tersengal-sengal setibanya di warung mie ayam, membutuhkan waktu selama sepuluh menit.
Bu Mira yang merasa aneh dengan putrinya pun segera mengambilkan air minum untuk Aliana. Setelah segelas air putih habis, Aliana menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Lia? Kenapa? Kok tiba-tiba ke warung Ibu?” Bu Mira mengernyitkan kening. “Katamu mau nanem bibit buah jambu kristal?”
“Ibu jual lahan kita Bu?” tanyanya dengan suara cukup parau.
“Jual?” Bu Mira menunduk, memainkan jemarinya berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya sampai putrinya bertanya demikian. “Ibu merasa enggak pernah jual tanah kok…”
“Tapi kenapa waktu aku mau nanem buah, ada dua orang yang ngaku bahwa lahan kita sudah jadi milik mereka Bu? Bahkan, dia menunjukkan sertifikat dan surat jual belinya, dengan tanda tangan Ibu langsung… Coba Ibu ingat-ingat lagi… Waktu aku nggak ada di rumah apa yang terjadi berkaitan dengan tanah Bu?” tanyanya berusaha menggunakan nada suara cukup tenang.
Bu Mira menelan salivanya dalam-dalam. Aliana bertanya dengan nada suara biasa, namun baginya itu pertanyaan mengintimidasi.
Matanya bergerak gelisah, jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mulai bermunculan. “W… waktu itu…”
Aliana dengan berusaha mendengarkan penjelasan Bu Mira dengan tenang tanpa tantrum.
“Waktu kamu masih berada di sekolah…pagi-pagi sebelum Ibu jualan mie ayam, ada dua orang yang dateng ke rumah… Mereka mengaku dari kantor tanah namanya apa ya.. Ibu lupa…”
“Namanya kantor BPN?” Aliana menebak.
“Ya itu, Ibu lupa nama istilahnya… tapi intinya lelaki itu pakai seragam dinas… Dia bawa sembako, mengaku lagi survei kesejahteraan dan keamanan penduduk desa.. terus minta sertifikat tanah ke Ibu buat ngecek keasliannya di kantor… katanya banyak kasus sertifikat palsu, sehingga dia lagi survei-survei ke desa buat mastiin sertifikat tanah ibu asli apa enggak… Terus.. terus…”