Ketika sedang mengetik naskah novelku, bapakku—yang kucurigai sebagai titisan Hitler—mencabut sekring listrik dengan semena-mena. Membuat kamarku seketika menjadi gelap. Seluruh lampu dan hampir semua peralatan elektronik padam. Termasuk laptopku—karena baterainya sudah soak, laptop lungsuran kakakku itu harus selalu mendapatkan pasokan listrik agar bisa tetap menyala. Sialnya, file Microsoft Word yang tadi kugunakan untuk mengetik, belum sempat aku simpan.
Di dalam kegelapan, dengan hati yang gundah, aku beranjak dari tempat duduk. Mencoba meraba-raba letak kasur. Dan ketika berhasil menemukannya, pelan-pelan, aku membaringkan diri di sana. Lantas, merenung, menatap langit-langit kamar yang gelap. Memikirkan satu-satunya keinginanku setelah lulus SMA, yaitu minggat dari rumah.
Kakakku, Mita, sudah lebih dulu melakukan itu. Aku dua bersaudara. Kakak perempuanku sudah kawin dan ikut suami. Dia sudah lama muak dengan kelakuan Bapak yang nyaris selalu mengekang hidupnya. Tidak boleh pacaran (tapi kakakku tetap punya pacar, walaupun sembunyi-sembunyi), tidak boleh keluar malam, tidak boleh membawa teman ke kamar, meskipun temannya cewek, dan tidak boleh lainnya yang hampir semua tak masuk akal, dan langsung dilanggar oleh kakakku itu.
Sampai akhirnya, kekesalannya memuncak. Dengan nekat, kakakku mengizinkan sang pacar menghamilinya, lalu dia cepat-cepat kawin dan minggat dari rumah.
"Kapan kamu menyusul, Danan?" tanya Mita suatu ketika.
Aku menghela napas, lalu menjawab penuh kegetiran. "Aku pengin banget nyusul secepatnya, Kak. Sayangnya, aku nggak bisa hamil."
Berbeda dengan aku dan kakakku, Ibu lebih banyak pasrah dalam menghadapi Bapak.
Aku pernah bertanya kepada Ibu. "Bu, nggak pengin cerai dari Bapak?"
Beliau geleng-geleng kepala. "Ingat, Nak. Selalu bersyukur. Kamu beruntung masih punya bapak," sahutnya bijak. Aku tidak setuju. Jelas aku tidak merasa beruntung. Aku malah merasa lebih baik tidak punya bapak daripada harus punya bapak tapi seperti Hitler.
Sulit sekali mendeskripsikannya tanpa terkesan seperti anak durhaka. Intinya, bapakku itu diktator, pelit, dan kepalanya dipenuhi negative thinking.
Mungkin karena itu, di usianya yang baru lima puluhan, bapakku terlihat jauh lebih tua. Bahkan saat berjalan bersama keluarga, orang-orang mengira beliau kakekku. Pikirannya yang ruwet, membuat bapakku menua lebih cepat.
Di sisi lain, berbeda dengan bapakku, ibuku adalah perempuan yang polos. Hampir seperti anak-anak, pikirannya sederhana. Dan orangnya ikhlas. Itu sudah terbukti, karena beliau bisa bertahan melewati tahun-tahun yang berat bersama bapak. Hanya orang ikhlas yang bisa.
Setiap hari, demi menopang hidup keluarga (setelah Bapak memutuskan untuk memensiunkan diri), ibuku bekerja sebagai guru SD. Beliau juga yang mengurus rumah tangga. Makanya, kalau tidak ada Ibu, hampir pasti rumah jadi berantakan. Bagiku, meskipun sudah agak keriput dan perutnya berlemak dan kendor di sana-sini, Ibu adalah perempuan terhebat di dunia. Aku kagum karena beliau sanggup menerima keadaan apa adanya. Walaupun tampak jelas, Ibu tidak terlalu bahagia.
Sampai aku lulus SMA, selama tiga bulan setelahnya, semua masih tetap sama. Lalu, aku menetapkan hati. Aku ingin merdeka dari kediktatoran bapakku.
Rencananya, begitu aku kuliah, aku akan mencari kerja part time. Di sela-sela kesibukan kuliah dan kerja, aku akan terus menulis naskah novelku sampai rampung, dan diterima penerbit. Lantas, ketika sudah menjadi sedikit mapan karena menulis, aku akan mencari tempat kos. Lalu pergi jauh dari Bapak. Ah, rasanya sudah tidak sabar untuk melakukannya.
Begitulah. Semuanya sudah terencana, kecuali bagian saat rencana itu mempertemukanku dengan seorang cewek, yang membuatku bisa melupakan betapa menyebalkannya bapakku, dan betapa tidak bahagianya hidupku. Hanya dia yang bisa melakukan itu. Namanya Bintang, cewek yang akan membuatku jatuh cinta setengah mati.
***
Sebulan setelah ospek selesai—ngomong-ngomong, aku kuliah di fakultas hukum. Dan tentunya, sesuai rencana—sambil terus menulis naskah novelku—aku mulai berburu lowongan pekerjaan paruh waktu. Sejauh ini, belum ada yang cocok. Kebanyakan lowongan untuk penjaga warnet, penjaga toko, malah ada juga penjaga gawang.
Malas di rumah dan melewatkan waktu bersama bapakku, aku memilih pergi ke kos sahabatku sejak SMA, Thomas, yang lebih sering kupanggil Tomat. Karena penampakan sahabatku itu hampir sama dengan sebuah tomat, badannya gempal dan bundar, dengan perut buncit yang menggoda. Bedanya, Tomat tidak berkulit merah dan ranum, tapi hitam.
Sesampainya di kos Tomat, aku disambut oleh gonggongan seekor anjing kampung kecil berwarna hitam. Dengan heran, aku berjalan melaluinya, dan menemukan Tomat sedang duduk di depan TV layar datar, bermain Playstation. Aku ikut duduk di sebelahnya dan mengambil stick yang tidak digunakan.
"Aku baru tau kamu punya anjing," ujarku sambil memencet-mencet tombol stick.
"Baru sebulan aku adopsi." Sahutnya singkat. Pandangannya tetap tertuju ke layar TV, sementara tangannya sibuk menekan-nekan tombol stick. Kami memainkan game Winning Eleven. Aku memilih tim Real Madrid, Tomat Barcelona. "Gimana hidupmu, Bro?" giliran Tomat yang bertanya.