Jejak Bintang

Ramayoga
Chapter #3

Dua

Seperti biasa, tepat pukul 10 malam, bapakku akan mematikan listrik dengan semena-mena karena sudah waktunya tidur.

Aku mengeluarkan handphone murahanku yang aku sembunyikan di selongsong bantal. Bapak tidak mengizinkan aku memiliki handphone, dengan alasan akan boros pulsa, karena digunakan untuk pacaran—makanya beliau juga tidak suka aku pacaran, katanya akan mengganggu pelajaran di sekolah. Namun, Ibu tetap membelikanku handphone secara sembunyi-sembunyi.

Dulu, di hari ulang tahunku yang ketujuh belas, ada hal menyebalkan yang terjadi karena masalah handphone. Dan tentu kejadian itu juga melibatkan Bapak. Waktu itu, aku punya gebetan, dan salah satu cara termudah untuk bisa berkomunikasi dengannya adalah melalui handphone. Namun, aku tidak punya handphone, jadi aku meminjam milik ibuku. Dan Bapak melihatnya, dia pun marah besar. Katanya, pulsa Ibu bisa habis untuk keperluan yang tidak tepat, bukan untuk pekerjaan yang menghasilkan uang. Beliau mengeluarkan kata-kata yang membuatku sakit hati. Jadi, di hari ulang tahunku yang ketujuh belas itu, aku kabur ke kampungku di Tabanan. Padahal sorenya, teman-temanku sudah mulai berkumpul di rumah untuk merayakan ulang tahunku. Aku yang mengundang mereka, tapi aku malah tidak ada di rumah. Itu cara merayakan ulang tahun yang sangat menyedihkan. Dan semuanya karena bapakku yang tercinta itu.

Sekarang aku sudah punya handphone, walaupun harus sembunyi-sembunyi memakainya. Sejak dibeli, aku bahkan belum pernah mendengar bunyi ringtone-nya, karena selalu di-setting silent.

Sambil tiduran di kasur, di dalam kegelapan, aku mengirim sebuah pesan singkat untuk kakakku, Mita. Dulu kami saling menguatkan. Aku sering curhat padanya tentang betapa menyebalkannya Bapak kami. Namun, sejak dia menikah dan berhasil keluar dari rumah, kami sudah jarang berkomunikasi. Tepatnya, aku jarang menghubunginya. Selain karena Kak Mita sudah repot mengurus bayinya, aku merasa tidak seharusnya mengganggunya lagi dengan cerita-cerita tidak enak mengenai bapak kami itu. Dia pasti sudah muak mendengarnya. Namun, kali ini aku benar-benar sudah tidak tahan. Aku pun mengirim pesan untuknya.

"Kak, kapan ya aku bisa bebas?"

Tak lama balasannya masuk ke handphone-ku. "Bapak mulai menyebalkan ya? Sabar. Kamu cari kerja gih, terus ngekos."

"Iya, Kak. Memang itu rencananya."

"Kamu jangan mikir yang aneh-aneh, bagaimanapun, dia bapak kita."

"Doakan saja."

"Selalu."

Tidak mau mengganggunya lagi, aku mematikan handphone-ku, lalu kembali memasukkannya ke selongsong bantal. Dan sekarang aku cuma bisa berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Berusaha tidur, dan berharap ketika bangun nanti, ada sebuah keluarga yang mau mengadopsiku.

***

Hari minggu yang cerah, aku berencana untuk bangun siang, sampai Anjani menelepon dan menyuruhku mengantarnya ke salon. Maka, pagi itu, aku bengong sendirian di bawah pohon jambu monyet di depan sebuah salon. Mondar-mondar, duduk, lalu berdiri, lalu diam seperti patung. Hampir semua gaya sudah kulakukan, tapi Anjani belum juga keluar-keluar.

Dua jam kemudian, Anjani akhirnya keluar sambil menelepon, dan dia memberi kode agar aku mengeluarkan motor. Jadi, aku mengeluarkan motor Scoopy hitamku, dan Anjani duduk cantik di jok belakang. Aku pun mengantar Anjani ke rumahnya. Hanya sebentar, karena katanya, dia ada acara lain. Harus buru-buru pergi. Aku pun pulang.

Sampai di rumah, bahkan belum sempat duduk, seorang tukang pos datang. Dia memberikan sebuah amplop coklat besar kepadaku. Amplop itu dikirim oleh salah satu penerbit, buru-buru aku membuka dan membaca isinya. Semoga naskahku diterima, harapku dalam hati. Namun, ternyata itu surat penolakan lagi.

Dengan kesal, aku meremas surat sialan itu. Rasanya ingin kubakar, atau kalau bisa, sekalian saja aku ledakkan dengan bom molotov. Namun, tentu saja itu tidak kulakukan. Aku hanya bisa duduk di teras rumah dan termenung.

Ibu muncul dari pintu depan, sepertinya baru saja pulang dari mengajar. "Kenapa, Nan?" tanya Ibu.

"Nggak, cuma ditolak lagi sama penerbit." ujarku lemah. "Udah empat kali ditolak melulu."

Ibu menoleh padaku. "Baru empat kali kan?"

"Iya."

"Kamu belum gagal selama kamu belum menyerah." ujar Ibu, beliau duduk di sampingku, menepuk bahuku pelan. "Coba lagi, siapa tau yang kelima bakal diterima."

"Makasi, Bu." sahutku sambil tersenyum.

Lihat selengkapnya