Jejak Cinta 20 Tahun Berlalu

Mizan Publishing
Chapter #2

H-3

“Paman Ben akan tinggal bersama kita.”

Ini berita besar. Tepatnya ... BERITA BESAR!! dengan dua tanda seru. Paman Ben kembali. Astaga, ini sudah berapa tahun? Sepuluh? Lima belas? Bukan! Dua puluh tahun!

“Pulang, lalu balik lagi, gitu kan?” Koko membalikkan badan. Bantal Mickey Mouse kesayangan Andien penyek tertindih dadanya.

“Bantal gueeeh!” jerit Andien sambil menarik bantal itu.

“Tidak. Paman Ben akan tinggal di sini,” Bibi Jane, yang lebih suka dipanggil begitu supaya terkesan keren meskipun bernama asli Janiar, mengangguk manis. Dia memeluk baskom merah hati penuh kain lap basah berbahan handuk. Bibi Jane rajin mencuci kain lap. Kami menjulukinya Bibi Kain Lap.

“Apaan sih?!” Koko menarik bantal Mickey Mouse itu. “Bantal jelek gini diributin!”

Andien menarik bantal itu lagi, kali ini jeritannya sepanjang peluit kereta api, “BANTAL GUEEEHHH!”

Bibi Jane yang tidak terpengaruh lengkingan dahsyat Andien tersenyum manis, “Paman Ben mau merit.”

WHAT?!

Aku tersedak. Uhuk! Uhuk! Hidungku seperti digilas ribuan ton cabai. Uhuk! Uhuk! Airrr! Tolong, beri aku air. Andien masih berebut bantal dengan Koko di karpet. “Bantal gueeehhh!”

Sial! Siapa yang memasukkan sekilo cabai ke mangkuk baksoku? Kusambar gelas minum di meja. Terserah deh punya siapa. Mungkin gelas Koko atau Andien. Semoga mereka tidak sedang batuk di musim kering ini. Uhuk! Uhuk!

Merit?” tanyaku setelah menenggak habis air minum di gelas. Hidungku masih terasa pedas. Kuah bakso itu masuk begitu saja ke hidung tanpa permisi.

“Sama siapa?” tanya Koko yang masih mempertahankan ‘bantalgueh’-Andien.

“Enggak tahu. Orangnya belum ketemu.”

What?” Baksoku pun terlupakan. Mungkin ini upaya alam bawah sadarku dalam rangka mitigasi potensi tersedak.

“Ya gitu, deh. Kalian tahulah ... Paman Beeen,” Bibi

Jane melambaikan tangan dengan gaya, Kalian pasti mengerti. Sumpah, aku sama sekali tidak mengerti.

Andien berhasil merebut bantal Mickey Mouse dari cengkeraman monster jahat bernama Koko.

“Maksudnya, Paman Ben akan pindah ke Indonesia karena mau merit dengan perempuan di sini?” Koko duduk. Dia tampak sama herannya denganku.

“Iya.”

“Tapi Bibi tidak tahu siapa perempuan ini karena Paman Ben baru akan mengenalkannya kepada kita setelah pulang. Begitu?” tanya Koko lagi. Andien menaboknya dengan boneka Mickey Mouse, mungkin masih kesal.

“Sebenarnya, Paman Ben pun tidak kenal betul dengannya.”

Apa? Aku dan Koko sama-sama menunjukkan ekspresi seperti ketika kami disuruh tidur pada pukul delapan malam, padahal televisi sedang menayangkan film Fast and Furious. Maksud lo?

“Begitulah,” Bibi Jane melangkah ke teras samping tempat dia biasa menjemur kain-kain lap kesayangannya. Kami bertiga mengikuti. Andien mendekap erat bantal kesayangannya seakan khawatir Koko sewaktu- waktu berubah pikiran dan menawan bantal satu itu di bawah ketiaknya.

“Maksudnya?”

“Yaaah ... namanya juga Beeen!!!” Bibi Jane memanjang-manjangkan kata-katanya sambil mulai menjemur kain lap, mulai dari yang biru.

“Aku enggak ngerti,” kataku.

“Sama,” Koko menimpali.

“Kalau sudah besar, kalian pasti mengerti.”

Koko cemberut. Bibi Jane mengambil kain lap lain, yang juga berwarna biru. Sebenarnya semua kain lap di baskom itu berwarna biru. Itu warna favorit Bibi Jane.

“Bibi ... aku tahu Paman Ben itu sinting, tapi khusus kali ini aku enggak paham. Bagaimana mungkin Paman Ben merit sama orang yang enggak ada?” tanya Koko sambil mendekati Bibi Jane lalu ikut menjemur kain-kain lap di baskom. Pantas saja dia jadi keponakan kesayangan Bibi Jane. Koko selalu mau membantu menjemur kain lap. Kami menyebutnya Ponakan Kain Lap.

“Nah, Bibi juga enggak paham. Karena kita sama- sama enggak paham, sebaiknya jangan saling bertanya.”

Lihat selengkapnya