Jejak Cinta 20 Tahun Berlalu

Mizan Publishing
Chapter #3

H-2

“Keegan?”

“Keegan.”

“Keegan?”

“Iya, dia. Keegan yang mana lagi? Memangnya ada Keegan yang lain?”

Aku terenyak. Ini kesintingan lain.

“Tolong hidupkan Skype, aku mau bicara dengan Paman Beeen!” aku berseru sambil berlari ke meja makan. Laptop Andien yang sedang menayangkan drama Korea duduk manis di sana.

“Eit! Mau apa?!” Andien dan Priska langsung merentangkan lengan, menjaga si laptop.

“Aku mau nge-Skype Paman Ben.”

“Enggak bisa, kami lagi nonton.”

“Di-pause saja.”

“Enggak bisa!” seru Priska galak.

“Priskaaa!”

“Abby!!!” Priska tidak kalah galak.

“Mana mungkin nge-Skype Paman Ben, lah dia sudah di pesawat,” kata Bibi Korrie santai dari sofanya sambil mengunyah kacang.

“Ha?”

“Di pe-sa-wat,” Bibi Korrie memperjelas gerak bibirnya seakan aku hanya mampu memahami ucapan seseorang setelah membaca gerak bibirnya.

“Enggak mungkin! Pesawatnya kan, baru berangkat jaaam ...,” aku melirik jam dinding, bingung. Jam berapa, ya?

“Sudah berangkat, Abby Sayang,” suara Bibi Korrie terdengar lembut, tetapi ekspresi wajahnya galak tingkat mengkhawatirkan, “setengah jam yang lalu.”

“Tapi—”

“Paman Ben sampai besok pagi, terus nanti dijemput entah siapa. Banyak yang mau jemput dia. Kamu sabar saja di sini.”

“Tapi, Bibi Korrie ”

Bibi Korrie memberi senyuman, Jelas ya, Abby, jadi jangan bertanya. Aku kembali ke sofa dan duduk lemas di sana. Di sebelah Bibi Korrie, Agam, anaknya yang sulung dan sekarang kuliah di BINUS, senyum- senyum.

“Apa senyum-senyum? Aku enggak butuh dihibur!” hardikku.

“Yang penting Paman Ben pulang,” ibuku yang sedari tadi duduk di sudut sambil membuat sepatu bot rajut untuk Andien berkomentar untuk pertama kalinya. “Dan dia mau menikah. Ini patut dirayakan.”

“Bu, memangnya siapa sih, yang ngusulin aku untuk menemani Paman Ben ke Padang?”

Lihat selengkapnya