Dilihatnya kendaraan berbentuk balok persegi panjang, dengan deretan pintu serta jendela, disekat dengan gerbong-gerbong panjang bak ular tangga. Langit menatap sayu kendaraan yang biasa kita sebut dengan kata kereta itu. Hatinya bergetar hebat, manakala netranya melihat sosok Senja tengah menukar sebuah tiket di area loket.
Percakapannya kemarin dengan gadis asal Kota Malang itu tidak sejauh yang ia bayangkan. Baginya, biarlah rasa itu saat ini masih terpendam dalam lubuk hatinya. Langit tak ingin menambah pikiran yang tak karuan untuk Senja. Baginya, saat ini yang terpenting adalah kesehatan bapak Senja. Ya. Perkara hati, Langit masih bisa menahan perasaannya hingga saat itu tiba. Toh, ia begitu megenal gadis tersebut. Tidak mudah meluluhkan hati seorang Senja. Oleh sebab itu, tidak kaget jika hingga saat ini, tak seorang pun yang mampu memiliki hati gadis tersebut.
"Sudah ditukar tiketnya?" tanya Langit, saat Senja berjalan mendekat kearahnya.
"Sudah, Mas," jawab Senja sembari memperlihatkan secarik kertas dengan berbagai tulisan.
Langit pun tersenyum.
"Mas Langit, kenapa murung?" tiba-tiba saja Senja memegang pergelangan tangan Langit, hingga membuat keringat dingin mengucur deras dari pelipis pria tersebut.
Langit salah tingkah. Bagaimana tidak? Sejak ia dekat dengan Senja, ini kali pertama gadis itu memegang pergelangan tangannya. Biasanya, Senja enggan bersentuhan.
"Apa, Mas, banyak kerjaan?" belum sempat Langit menjawab pertanyaan pertama Senja. Gadis itu kembali melayangkan pertanyaan.
Langit menggeleng kaku, bola matanya tak lepas dari jari-jemari Senja yang masih melingkar dipergelangan tangannya.
"Sorry, Mas!" spontan, Senja pelepas pegangannya. Namun, Langit segera meraih jemarinya.
"Kalau sudah sampai Malang, jangan lupa kabarin aku, ya?" Langit bingung harus berucap apa. Bisa memegang jemari gadis idamannya saja ia sudah begitu bahagia.
"Mas Langit, kenapa? Tidak seperti biasanya?"
Langit canggung. Amat canggung. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya, akan tetapi pria itu memilih untuk bungkam.