Jejak dan Cinta

Muntashary Zain
Chapter #1

INSIDEN

Pintu berdecit saat Sarrip merasuk ke dalam bilik masjid. Seketika hidungnya mencium aroma melati dan mendapati Siro memakai parfum milik Nimur. Sejenak Sarrip menatap anak itu, lalu dengan mantap menuju rak kitab di selatan ruangan.

Sarrip mematung depan rak cokelat berukuran tiga kali dua meter itu. Mengecek kitab, buku, baju, dan meraba bagian-bagian rak yang rusak, lalu tikar, bantal, pintu dan juga gantungan baju.

“Apa yang hilang?” Sarrip menatap kedua temannya.

“Kitab Nimur,” jawab Siro.

“Mmm... kitab?” tanyanya pada diri sendiri.

Ini aneh. Pencurian biasanya hanya menyasar sesuatu yang bernilai uang. Tidak mungkin kitab itu diambil untuk dijual karena harganya tidak sebanding dengan risiko pencurian. Ini kesempatan bagi Sarrip untuk mencari siapa dalang yang selama ini membuat sekolahnya mendapat banyak masalah. Jauh sebelum insiden ini banyak fitnah bertebaran hingga sekolahnya terancam bubar. Bahkan, beberapa kasus melibatkan warga dan pihak sekolah harus bersitegang akibat fitnah itu. Sekarang, mereka berani melakukan perusakan. Ini sudah di luar batas. Sebagai anak yang memang suka memutar otak, dia berjanji pada diri sendiri akan menemukan si pelaku. Teror macam ini tidak boleh terjadi lagi!

“Ikut aku!” ajak Sarrip.

“Ke mana?” tanya Siro penasaran.

“Ikut saja!”

Sarrip keluar ruangan. Kedua temannya mengekor berusaha mengimbangi langkah. Mereka berjalan ke arah timur menuju tangga masjid. Di sana, dia berdiri samping tiang sambil mengelus dagu.

“Seharusnya dia menahan diri di sini.” katanya pada diri sendiri.

Dia memutar badan dan mengamati permukaan tiang. Ada bagian kulitnya yang mengelupas. Bagian dalamnya tampak putih di antara warna cokelat tiang itu. Sarrip merabanya dengan otak menegang.

Prediksinya tidak mungkin meleset. Dia sudah belajar banyak mengenai kasus-kasus macam ini. Namun dia kesulitan akibat permukaan dilapisi keramik. Dia harus harus sabar untuk membuktikan hitungannya tidak salah.

“Apa yang kamu cari, Sar?”

Sarrip tidak menjawab. Dia terus mengamati permukaan tiang tersebut. Mata sipitnya cukup menggambarkan keseriusannya saat itu.

Hingga pada akhirnya, dia pun tersenyum.

“Ini!” katanya lega.

Kedua sahabatnya mendekat. Mereka penasaran dengan yang ditunjuk Sarrip.

“Orang itu bukan sepantaran kita. Jarinya lebih panjang. Kalian bisa lihat bekas ini.” Sarrip menunjuk bekas jari yang samar.

Kedua sahabatnya mengangguk setuju. Terutama Nimur, matanya tampak berbinar.

Sarrip perlahan menuruni anak tangga. Dia meniliki permukaan keramik dengan seksama dan membiarkan wajahnya terpapar pantulan sinar matahari.

“Tetap di situ!” kata Sarrip dengan isyarat telunjuk melihat gelagat Siro hendak mendekat.

Sarrip buru-buru mengenakan sandal. Dia berjongkok mengusap tanah berlumpur dengan ujung jari. Lalu memandang lekat pintu pagar utara masjid.

Setelah itu, dia melompat-lompat seperti katak sambil menjinjing bagian bawah sarung. Hal itu dilakukannya berkali-kali. Hingga akhirnya dia tersenyum sambil mengusap dagu menatap kedua temannya.

“Berdiri sejajar!” perintah Sarrip kepada dua temannya.

Mereka pun melakukan apa yang diperintahkan Sarrip. Dalam situasi seperti ini Sarrip memang punya kendali besar. Dia satu-satunya anak yang punya kelebihan mengolah otak dibanding kedua temannya. Sarrip memang cerdas dan wajib dipatuhi jika sedang serius.

Dia membandingkan kedua temannya yang bingung. Tampak Siro lebih tinggi dibanding Nimur, kemudian Sarrip mengangguk.

“Siro, sini!” perintah Sarrip.

“Buat apa, Sar?” tanya Siro.

“Berbaring di sini!”

Telunjuk Sarrip mengarah pada tangga paling bawah. Permukaannya kotor dan basah akibat air hujan.

“Nimur saja, Sar. Nanti bajuku kotor.”

Lihat selengkapnya