Sarrip memaksa diri tetap berpikir. Dia tidak mau menyerah sampai saraf otaknya putus sekali pun. Dengan sorot mata tajam, bibir merah anak itu terus berkomat-kamit. Dia tak peduli ujung rambut lurusnya menusuk mata berkali-kali. Dia berusaha menahan panas di pinggul dan membiarkan tulang belakangnya menekuk. Tinggal sepuluh bait lagi, dia harus menuntaskan malam ini.
Anak lima belas tahun itu sedang kejar setoran. Kendati masih awal tahun, dia ingin khatam Imrithi lebih awal. Besok, usai salat Jumat, dia bisa secepatnya menyelesaikan kewajiban tersebut. Dengan demikian, anak kurus itu punya banyak waktu membantu sang ibu.
Sarrip siswa kelas tiga MTs Al-Manshuriyah II. Madrasah itu mewajibkan para siswanya hafal tiga kitab sebagai syarat ikut semester. Mulai dari Awamil untuk kelas satu, Maqshud untuk kelas dua, dan Imrithi untuk kelas tiga. Empat tahun sudah sekolah itu berdiri. Siswanya tidak terlalu banyak. Kelas Sarrip saja hanya sembilan orang. Lima perempuan, empat laki-laki, termasuk Sarrip.
Putra Mushannif itu tidak beranjak sedikit pun dari langgar rumahnya. Padahal matanya sudah melemah seperti cahaya lampu di atasnya. Anak seusianya seharusnya sudah tidur. Namun, apalah daya, Sarrip memang keras kepala. Dia akan berhenti jika tidak mampu bertahan lagi. Dia merenggangkan otot. Lalu menghembuskan napas mengamati kitab itu. Tinggal sedikit lagi, pikirnya.
Malam kian larut. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit. Sepi menyelimuti desa Klobur. Hanya suara lirih jangkrik terdengar di kejauhan.
Sarrip berusaha menyeret bait-bait masuk dalam kepala. Dia mengulanginya berkali-kali. Ustad bilang, jika ingin cepat hafal, pahami isinya dulu. Tapi, Sarrip belum mengerti. Yang ada dalam pikirannya adalah menghafal secepat mungkin. Mengerti atau tidak, itu urusan belakang. Sarrip bisa menambalnya nanti seperti dinding langgar itu.
Dia anak yang ambisius. Satu-satunya orang yang bisa mengendalikannya adalah ibunya sendiri. Dia begitu menghormati wanita itu. Maka dari itu, sebelum jam dua belas, Sarrip harus selesai dari hafalan kalau tak ingin ibunya marah.
*****
Sarrip sengaja mengambil air usai salat subuh tadi. Dia memprediksi penelitian kali ini lebih menarik. Oleh karena itu dia datang lebih awal dari perjanjian.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat batang pohon besar tergeletak. Batang itu tampak hitam dan keras. Ujungnya terjepit di sela-sela bambu. Sarrip mendekat dan dengan tangkas menaikinya.
Dengan posisi kaki menggelantung memandangi sekolah tak jauh di sana. Dia mulai berpikir bahwa tidak mungkin pelaku menghilang begitu saja. Pasti ada sesuatu yang telah dilewatinya. Sesuatu masih belum terpecahkan dan membuatnya semakin tertantang.
“Sini!” ucap Sarrip tiba-tiba.
Nimur mendekat dari arah belakang. Dia sengaja berjalan pelan karena tidak ingin temannya kaget. Namun yang terjadi sebaliknya, Sarrip bisa menebak kedatangannya.
“Kamu tidak sama sekali mengurangi parfummu, Mur. Aku bisa menciumnya dalam jarak sepuluh meter sekalipun.” Sarrip melihat tangan Nimur, “kamu tidak membawa sapu lidi milikmu.”
“Aku pinjam ke tetangga, Sar. Dari mana kamu tahu?”
“Lihat bayanganmu! Saat manusia berdiri, bayangan mereka lebih panjang dua kali lipat saat pukul enam tiga puluh menit.” Kaki Sarrip mengayun-ngayun.
“Apa hubungannya dengan sapu lidi ini, Sar?” tanya Nimur lugu.
“Kamu ke sekolah menghabiskan waktu dua puluh lima menit. Dan lima menit lagi kamu gunakan untuk menyapu seperti kebiasaanmu selama ini.” ucap Sarrip pada tetangganya itu, “Tidak mungkin kamu selesai menyapu halaman rumahmu itu dalam waktu lima menit. Aku yakin, maaf, sapu lidi di rumahmu pendek karena sering dipakai. Itu akan membutuhkan waktu lebih lama. Dan kamu meminjam sapu yang lebih besar ke tetanggamu agar cepat sampai di tempat ini.”
Sarrip menatap Nimur, “Tapi, aku patut kagum. Kamu masih sempat memasak untuk ibumu.” Dia tersenyum melihat Nimur penasaran. “Kamu ingin tahu dari mana aku bisa menebak itu, Nimur?” Sarrip tersenyum kaku.
Dia turun lalu mendekatkan wajah ke telinga sambil menahan bau parfum Nimur, “kamu lupa becermin hari ini. Hapuslah bekas hitam di hidungmu, Mur! Leha tak suka lelaki yang ceroboh.”
Nimur malu dan mengelap wajah dengan tangan.
“Sapunya,” pinta Sarrip tanpa peduli Nimur blepotan, “kita harus menemukan petunjuk baru sebelum keadaan kering.” kata Sarrip buru-buru.
Di depannya daun-daun berserakan memenuhi jalan dengan lebar tidak lebih dari satu meter. Jalan itu seperti sebuah terowongan di mana sisi-sisinya ditutupi oleh rimbun bambu yang berjejer rapat. Sebagian tangkainya berjuntai ke jalan. Sulit bagi seseorang berjalan dalam keadaan berdiri tegak.