Nimur jatuh cinta. dan itu terjadi setiap hari sejak tiga tahun lalu.
Nimur sadar untuk mendapatkan cinta Leha sangat sulit. Dia merasa malu dan lemah untuk mengutarakan perasaannya. Oleh karena itu, Nimur memilih mencintai dengan caranya sendiri.
Suatu cara yang aneh dan konyol. Yaitu dengan menggunakan parfum melati sebanyak mungkin, di mana pun, dan kapan pun.
Meskipun Sarrip telah berulang kali menasihatinya agar tidak berlebihan, akan tetapi Nimur tidak bisa meninggalkan itu.
Nimur sudah berjanji pada diri sendiri, bahwa dia tidak pernah sedetik pun melupakan cintanya. Hanya dengan mencium terus aroma melati, Nimur merasa dekat dengan Leha. Semakin banyak parfum itu disemprotkan, semakin besar rasa cintanya.
Sikap itu timbul bukan asal-asalan. Semua itu berawal ketika Nimur secara tidak sengaja melihat bunga melati jatuh dari buku Leha di pagi itu. Nimur mengambilnya dan menyimpan bunga itu hingga saat ini.
Namun sayang, bunga itu terselip di antara lembar kitabnya yang hilang.
Nimur begitu sedih dan tertekan. Dia berjalan begitu berat menuju masjid melintasi halaman rumah Mbah Mud. Tempat itu biasa dilewati teman-teman usai ikut pengajian. Selain halaman itu luas juga merupakan jalan alternatif.
Nimur memaksa kakinya berjalan terburu-buru. Dan secepat mungkin meletakkan kitab di bilik masjid. Dalam sekejap anak itu berjalan ke utara.
Sarrip dari tadi sedang menunggu.
“Mur, orang itu tidak sendiri!” kata Sarrip menyambut kedatangan Nimur.
Mereka berdua berada tidak jauh dari pertigaan dekat beringin.
“Pekerjaan kita akan bertambah, Mur. Aku akui ini sulit.” Sarrip melihat lingkaran di jalan aspal itu, “namun jangan khawatir, kukira pengalamanmu akan sangat membantu.”
“Aku bisa bantu apa, Sar?” tanya Nimur lemah.
“Kamu lihat lingkaran ini.” tunjuk Sarrip pada jalan beraspal, “dari sini jarak ke tempat di mana orang itu melempar kelopak hanya lima meter. Di sini pelaku bertemu dengan orang lain. Coba kamu lihat bagian yang aku lingkari itu!”
Nimur mendekati dan mengamati lingkaran. Dan pikirannya tidak menemukan apapun kecuali sedikit sisa lumpur melekat di permukaan jalan.
“Meski sedikit, lumpur itu akan membawa kita pada pelaku. Kamu yang bisa memecahkan masalah ini.” kata Sarrip.
“Aku?” tanya Nimur.
“Ya, kamu lebih mengerti tentang ini.”
“Aku tidak paham, Sar. Melihat ini saja aku masih bingung.”
“Kamu lihat ke sekitar!” Sarrip melempar tangan ke sekeliling, “unsur tanah di sini berwarna kemerahan. Sedangkan lumpur itu berwarna hitam. Coba kamu teliti lagi, mungkin kamu akan menemukan petunjuk jika menciumnya.” pintanya.
Meskipun bingung, Nimur mengikuti ucapan Sarrip. Dikupasnya lumpur itu sedikit, lalu dengan ragu diciumnya.
“Hmm...,” Nimur mengerutkan hidung lalu meludah, “bau kotoran sapi.”
Sarrip tersenyum, “Tidak apa. Menurut kamu, bagaimana bisa lumpur bau kotoran sapi sampai ke sini?”
“Mungkin ada sapi atau orang mengangkut pupuk lewat sini. Bukannya kita melihat Pak Badar kemarin? Mungkin itu adalah kotoran sapinya.” jawab Nimur mengusapkan jari ke jalan.
“Salah, Mur. Bukan itu maksudku. Di sini tidak ada jejak kaki sapi sama sekali. Pak Badar tidak lewat ke arah sini, dia lewat ke kanan pertigaan itu. Aku telah mengeceknya tadi. Perhatikan lebih baik lagi bagaimana lumpur itu menempel.”
Nimur mendekat dan mengamati lumpur itu dengan segenap kemampuannya, “sepertinya ini jejak kaki seseorang.”
“Betul sekali, Mur. Itu jejak jempol kaki seseorang. Ukurannya lebih besar. Kamu tahu petani di kampung biasa ke ladang dan sawah tanpa sandal, dan itu membuat telapak kaki mereka melebar. Dan di atas beton pembatas jalan itu,” tunjuk Sarrip, “aku menemukan bekas sandal yang sama dengan yang di masjid.”
Nimur melihat ke arah yang ditunjuk Sarrip. Dan benar saja di sana ada jejak yang sama menghadap ke jalan.