Lihatlah! Perhatikan baik-baik! Apa kelebihan dari anak ini? Tidak ada! Tidak ada sama sekali, kecuali anak ini lebih miskin, lebih bodoh, lebih kurus dibandingkan teman-teman di sekolah. Tapi, apa salah Nimur hingga kitabnya dicuri? Apa?
Nimur tidak pernah cari masalah dengan siapa pun. Dia anak yang baik. Dia anak polos dan suka membantu orang yang kesusahan. Dia sabar dan menerima apa adanya.
Sekarang, dia tidak punya apa-apa lagi. Ayam-ayamnya sudah dijual, merpatinya sudah habis untuk membeli buku tulis. Dia tidak mungkin minta uang pada ibunya dan tidak akan menjual satu pun barang-barang yang ada di rumahnya.
Dia masih ingat pesan ayahnya, jadi anak jangan berharap warisan orang tua. Apapun itu! TV hitam putih, radio rusak, atau lemari tanpa pintu dalam rumah gubuknya.
“Jangan sampai dijual! Kamu harus belajar mandiri dan cari uang sendiri.”
“Apa ayah tidak sayang sama Nimur?” tanya Nimur TK.
“Ayah sayang sekali sama Nimur. Nimur anak ayah satu-satunya. Nimur adalah kebanggaan ayah."
“Kenapa Nimur tidak boleh menjual radio itu Ayah? Nimur ingin beli tas baru, Yah. Teman-teman Nimur sudah banyak yang punya.” Nimur merengek depan ayahnya.
“Nimur, lihat ayah! Nimur tidak boleh iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Nimur, adalah Nimur, anak ayah. Nimur harus belajar mandiri dan mensyukuri apa yang sudah ada,” sang Ayah mencium kening anaknya. “Tas Nimur masih ada?” tanya Asad memegang pundak anaknya.
“Ada Ayah.”
“Masih bisa dipakai?”
“Iya, Ayah.”
“Pakailah tas itu! Kalau Nimur mau yang baru, nanti Nimur bisa ikut ayah kerja. Nimur mau?”
“Mau Ayah. Nanti Nimur bisa dapat uang lagi kayak dulu.” Anak itu melompat kegirangan.
“Bagus. Anak ayah memang pintar.” Sang Ayah tersenyum lalu mengangkat tubuh anaknya ke atas. Anak itu pun tertawa-tawa.
Percakapan itu hanya tinggal kenangan. Ayahnya tidak lagi bisa memberinya nasihat. Ayahnya tidak lagi bisa menemaninya saat sedih. Hanya ibunya yang selama ini menemani Nimur. Ibunya yang sakit-sakitan. Ibunya yang kurus. Dan ibu yang selalu terlihat sedih sejak suaminya meninggal.
Kini, Nimur berada di bawah pohon lamtoro dengan pakaian lusuh. Anak itu duduk di ujung gerobak saat matahari baru saja terbit.
Sudah lama anak itu menunggu, tapi Sarrip belum juga datang. Dia semakin resah melihat mendung kian menebal.
Sambil bertelekan pada pohon di sampingnya. Nimur mencoba mengusir bosan dengan menikmati hamparan sawah yang menghijau sambil menikmati ramai kicau burung di pagi hari.
Burung-burung itu berkumpul di atas bambu. Pohon itu tumbuh lebat berjejer bak benteng mengelilingi kampung Jatisari. Tepat di tengah benteng tersebut terdapat sebuah pintu keluar.
Pintu yang tak lain berupa jalan setapak. Jalan utama yang sering digunakan penduduk saat pergi ke sawah atau ladang di timur kampung.
Dari sanalah Sarrip tampak keluar. Anak itu menyeret gerobak dengan satu tangan. Dia tampak lihai meskipun sesekali tubuhnya bergetar saat roda gerobak itu terantuk gundukan tanah.
Nimur lega. Yang ditunggu akhirnya tiba.
“Banyak, Mur?” tanya Sarrip saat berada di depan Nimur.
“Sedikit. Paling cuma balik lima kali selesai,” jawab Nimur memastikan banyaknya pupuk kotoran yang harus diangkut.
“Syukurlah, paling tidak kita selesai pukul sembilan.”
“Iya, Sar.”
“Kamu pakai parfum kerja kayak ini, Mur?” Sarrip mengernyitkan hidung.
“Sedikit.” Senyum Nimur terlihat aneh.
Nimur menyampirkan tali kendali lalu menarik gerobak berjalan lebih dulu. Sementara Sarrip menyusul sambil menggaruk hidung yang tak gatal.
Dalam hal ini Nimur lebih dikenal di kalangan orang dewasa. Dia sering berkumpul atau bekerja bersama mereka. Hampir semua pekerjaan yang didapat Sarrip, berasal dari anak ini.