Jejak dan Cinta

Muntashary Zain
Chapter #5

Sebuah Pilihan

Selama tiga jam hujan turun disertai terjangan angin dan letupan petir. Keadaan berubah basah dan berantakan. Meskipun tidak ada korban jiwa, namun ada banyak pohon tumbang dan rumah yang rusak.

Penampakan juga terjadi di sekolah Sarrip. Ranting-ranting dan dedaunan berserakan sana-sini. Bahkan, tiga pohon bambu menimpuk atap bangunan tersebut.

Hari ini, Jumat seharusnya libur. Akan tetapi, Madrasah Tsanawiyah mempunyai kegiatan sendiri yang bersifat tidak wajib usai salat Jumat.

Di mana siswa diperbolehkan hadir atau tidak untuk menyetor hafalan kitab masing-masing. Meskipun tidak mengikat, semua siswa harus memastikan diri khatam sebelum ujian semester.

Dan Sarrip telah hafal sejak dua hari lalu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkannya. Dia duduk di belakang memijat kakinya, sambil melihat Komar merapikan meja guru.

Memang Komar jarang berkumpul, Sarrip kagum pada anak itu. Dia siswa paling paling sibuk di sekolah. Dia yang mengurusi absen, menyediakan kapur, penghapus, penggaris hingga menjaga keamanan kelas.

Hal yang paling penting bagi Komar adalah memastikan tidak satu pun siswa duduk di kursi guru. ITU TIDAK SOPAN!

Komar tidak main-main mengenai hal itu. Meskipun bertubuh pendek, dia siap berkelahi dengan siapa pun yang melanggar. Itu tanggung jawabnya! Dan ingat! Dia adalah ketua kelas di sini!

Setelah selesai, Komar keluar menjemput guru.

Mumpung tidak ada Komar, Siro melanjutkan percakapan dengan bahasa daerah.

“Sulit, Sar. Kamu tahu sendiri bagaimana Teh Sukan. Dia itu galak. Bukan sekali dia terlibat keributan di kampung ini. Bahkan, dulu sekolah ini hampir bubar karena ulahnya. Menurutku, kita tidak usah ke rumahnya,” protes Siro dengan usulan Sarrip di luar kelas.

Mereka bertiga duduk dalam kelas. Jam menunjukkan pukul empat sore di saat mereka menunggu antrean setoran kitab. Mereka terlalu serius dengan rencana itu dan tidak peduli hari ini adalah hari wajib berbahasa Arab.

“Atau begini, kita suruh Leha saja bertanya langsung. Mungkin dia bisa membantu kita dalam masalah ini,” saran Siro kemudian melirik ke arah Leha.

“Janganlah, Ro. Jangan bawa Leha dalam masalah ini. Kasihan,” sanggah Nimur.

“Terus? Kamu mau dihajar Teh Sukan seperti Pak Badar saat pemilihan desa dulu? Kamu tahu sendiri kan risiko jika kita salah bicara. Yang kita hadapi itu Teh Sukan, Mur. Teh Sukan!” kata Siro keras hingga kursi panjang yang didudukinya miring.

“Apa mungkin ini ada hubungannya dengan kepala desa?” tanya Sarrip pada diri dan membuat kedua temannya menganga. “Kalian tahu, dia pernah mengirim mata-mata saat malam pemilihan kepala desa. Sekarang mata-mata itu bertugas di sekolah kita.”

“Pak Diman?” tanggap Siro.

“Ya, Pak Diman. Kakak Leha. Staf TU sekolah. Dia bertugas di tahun kedua saat sekolah ini didirikan. Kita masih kelas satu saat itu. Kalian ingat, kejadian pada masa itu?”

Nimur dan Siro berusaha berpikir di antara suara riuh kelas dua yang membaca nadham. Sarrip menunggu meskipun dia sendiri ingat kejadian itu.

“Pak Kardiman, ditugasi menjadi mata-mata di kampung ini. Warga di sini pro Ustad Misbah, kepala sekolah kita, yang saat saat itu berada di pihak lawan. Iya, iya. Mungkin keberadaan Pak Diman di sini ada hubungannya dengan pemilihan kepala desa beberapa tahun lalu.”

“Tapi, Pak Kardiman orang baik. Dia tidak mungkin terlibat. Dia memang mata-mata, tapi hanya mata-mata bahasa bagi siswa yang tidak berbahasa asing,” sanggah Nimur.

“Baiklah, sekarang kita fokus bagaimana bisa mendapat jawaban itu dari Pak Sukan. Dia pasti akan curiga. Kita harus cari cara bagaimana agar jawaban itu kita dapat tanpa harus bertanya,” jelas Sarrip. Dia meluruskan bahu.

Berkunjung ke rumah-rumah di kampung adalah hal lumrah. Tapi, bermain ke rumah teman putri, tanpa alasan yang tepat sangat berisiko.

“Kita buat jebakan batman,” kata Sarrip.

“Apa itu, Sar?” tanya Siro.

“Kita atur rencana, kendalikan prosesnya, hingga hasilnya sesuai harapan kita.”

“Tapi, jangan libatkan Leha, Sar!” pinta Nimur.

“Tenang saja. Leha cuma tokoh pendukung adegan ini. Dan kamu akan jadi tokoh sentral rencana kita.”

“Aku?” tanya Nimur tak percaya.

“Ya, di sekolah ini semua teman-teman tahu kalau kamu suka pada Leha. Aku yakin Pak Diman juga tahu tentang perasaanmu. Aku kira dia akan menceritakan itu pada Teh Sukan. Karena Teh akan curiga saat melihatmu bicara dengan Leha”

“Aku takut, Sar. Aku bisa dimarahi.”

Lihat selengkapnya