Di pagi keesokan harinya. Apa yang perintahkan oleh Sarrip sudah dilaksanakan. Siro sudah menyembunyikan alat bor dan mengadakan perjanjian dengan Teh Sukan. Sementara Nimur, menghabiskan waktunya dengan menghafal akibat hukuman kemarin. Tiga puluh suku kata tertampung dalam kepala. Dan dua puluh sisanya masih dalam proses.
Mereka bertiga berkumpul di utara masjid. Pengajian bubar seperti biasa. Teman-teman putra yang tidak punya piket mengisi air pulang terlebih dahulu. Sementara teman putri, selalu membantu ustazah untuk mencuci piring.
Ketiga sahabat itu menunggu Leha. Sarrip kembali mengingatkan alur rencana kemarin di balik pagar agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Tidak lama kemudian. Leha, gadis cantik yang menjadi primadona di sekolah tampak berjalan dari kejauhan. Dia mengenakan kerudung berwarna oranye. Wajahnya tampak bersinar diterpa cahaya mentari. Dia mendekap kitab dan sesekali tertawa mendengar Imah bercerita.
Kedua gadis itu kini melewati pertigaan. Di mana kemarin Sarrip menemui Irpan di sana. Tidak jauh dari pertigaan itu terdapat gedung sekolah yang digunakan secara bergantian. Pagi hari ditempati MI dan TK, dan MTs di sore hari.
Kini tibalah saatnya. Sarrip memandang kedua sahabatnya. “Jangan sampai ada kesalahan!”
Siro mengangguk, “Siap komandan!” Dia memberi hormat.
“Ayo, Mur!” ajak Siro.
Nimur tampak ragu. Anak itu jarang berkomunikasi dengan teman perempuan apalagi dengan Leha. Hanya beberapa kali dia melihat Nimur bicara dengannya, dan itu pun dalam kondisi darurat.
Meskipun begitu Sarrip tampak memaksanya lewat matanya. “Pergilah, jalankan tugas dengan baik!” perintahnya.
Kedua anak itu menguntit Leha dan Imah. Jarak mereka tidak kurang dari sepuluh meter. Sementara lima puluh meter di depan sana ada sebuah tikungan. Itu artinya kedua gadis itu akan berpisah, karena rumah Imah tidak jauh dari tikungan tersebut, sementara Leha akan berjalan sendirian setelahnya.
Tidak ada percakapan sama sekali antara Siro dan Nimur saat Imah berbelok menuju rumahnya. Kedua anak itu mempercepat langkah tidak ingin terlalu jauh dari posisi Leha.
Mereka melewati rumah-rumah yang berjejer di sisi jalan. Ada begitu banyak jenis tanaman yang tumbuh menjadi pagar rumah-rumah tersebut.
Mereka melintasi jalan becek. Meskipun jalan beraspal, drainase di pinggir jalan tidak bisa menampung air terlalu banyak. Hingga air mengalir ke jalan dan membuat jalan cepat rusak.
Sepuluh menit berlalu. Tampak di depan rumah bercat putih terang baru dibangun. Rumah itu merupakan rumah yang paling mewah di kampung ini. Keluarga yang tinggal di sana adalah keluarga yang disegani. Itulah rumah Teh Sukan, Ayah Leha.
Leha membuka pintu pagar. Tangan kirinya mendekap erat kitab, sementara tangan kirinya membuka kait pintu.
“Leha!” panggil Siro.
Gadis itu menoleh saat pintu terbuka. Dia mendapati Siro dan Nimur bergerak menuju ke arahnya.
“Bapakmu ada?” tanya Siro.
“Ada,” jawab Leha pelan.
“Aku ada perlu sama bapakmu,” kata Siro.
“Oh, ya. Ayo masuk.”
Siro langsung menerobos masuk, dia menoleh, “Nimur ada perlu sama kamu,” ucapnya sambil melangkah.
“Aku?” tanya Leha.
Dada Nimur berdegup kencang dan telapak tangannya terasa dingin. Anak itu hanya sekilas melihat wajah Leha. Gadis itu sungguh cantik sekali. Nimur menunduk menahan gejolak di hati.
“Ya. Dia ingin bicara sebentar. Sebentar saja,” jelas Siro pergi.
Nimur salah tingkah. Dia tidak tahu harus ke mana membuang muka. Semua yang dimilikinya tiba-tiba hilang. Keberaniannya melompat dari atas genteng. Kekuatannya menarik gerobak serta kepintarannya mengendalikan sapinya yang mengamuk. Seketika hilang di hadapan Leha. Termasuk tiga puluh kosakata yang sudah dihafalnya.
“Ada apa, Mur?” tanya Leha.
Oh, Tuhan... suara itu... Suara itu begitu indah dan menggetarkan. Nimur tidak mampu lagi. Suaranya tercekat di kerongkongan. Bahkan, andai dia menyusun seluruh kata-kata untuk semua ini. Itu percuma!
“Mur!” panggil Leha.
Nimur mendongakkan kepala. Dia berusaha semampu hati untuk menatap wajah Leha. Keringat dingin di dahinya semakin deras. Bahkan bedak yang dikenakannya mulai luntur bersama keringat itu. Nimur tidak percaya diri. Wajahnya kian pucat.
“A... Anu. A... nuu,” kata Nimur terbata-bata.
“Ada apa, Mur?”
“Aku mau pinjam buku.”