Sarrip dan kedua temannya datang lebih awal satu jam sebelum bel sekolah. Mereka baru saja ikut jamaah zuhur. Sekarang mereka duduk dalam kelas menunggu kedatangan Komar.
“Saat kalian pergi mengikuti Leha. Aku sudah tahu kalau Bi Romlah ada di belakang sekolah,” terang Sarrip melanjutkan percakapan.
“Kenapa kamu tidak memberi tahu kami?” tanya Siro yang duduk menghadap belakang.
“Aku tidak ingin konsentrasi kalian pecah,” jawab Sarrip santai melihat pohon bugenvil di depan kelas.
“Apa benar Bi Romlah terlibat, Sar?” tanya Nimur merasa kurang percaya. Dia duduk depan Sarrip, sama seperti Siro.
“Kalian ingat model sandal yang ada di masjid?” tanya Sarrip menatap kedua temannya.
“Ingat, Sar.” Siro mengangguk.
“Modelnya sama dengan model sandal Bi Romlah.”
“Kok bisa, Sar?” tanya Nimur kaget.
“Kalian tidak memperhatikan jejak kemarin saat Bi Romlah ada di depan kantor. Aku melihat jejak sandalnya sama persis. Dan sandal itu masih baru.” Sarrip menatap kedua temannya.
“Tapi, Bi Romlah itu gendut, Sar. Dia juga pendek. Kukira bukan dia pelakunya,” sanggah Siro.
“Ya. Dia bukan pelakunya. Tapi, yang bisa punya sandal macam itu hanya orang tertentu. Tidakkah kalian curiga, kenapa Bi Romlah memakai sandal yang sama? Atau, kenapa Bi Romlah mengenakan sandal lelaki?”
“Itu tidak logis, Sar. Perempuan kadang suka memakai sandal laki-laki asal cocok. Lagian, sandal itu mudah didapat. Atau, bisa saja Bi Romlah pinjam ke orang lain.” Siro mencoba berargumen.
“Tidak.” Kepala Sarrip geleng-geleng, “bukan itu masalahnya,” tukas Sarrip.
“Terus apa, Sar?” tanya Siro.
“Kalian kan tahu, bagaimana karakter Bi Romlah? Dia itu orang yang sangat memerhatikan penampilan. Gengsinya tinggi. Dia tidak akan pinjam apapun ke orang lain. Apalagi cuma sandal.”
“Baiklah, coba jelaskan kenapa kamu bilang Bi Romlah terlibat dalam kasus ini!” tantang Siro.
Sarrip membetulkan peci hitamnya. Anak sipit itu mengusap wajah lalu menatap serius kedua temannya. “Di kampung ini hanya ada satu toko yang paling besar. Toko itu terletak dekat balai desa. Aku telah mengeceknya tadi malam. Di sana, aku melihat ada sepasang sandal tersisa, dan memiliki kesamaan model bagian bawahnya. Pemiliknya bilang, bahwa dia hanya memiliki dua pasang sejak kulakan satu bulan lalu. Yang satu sudah laku, dan kini tinggal yang ada di toko itu.”
“Bisa saja Bi Romlah membelinya di pasar. Di pasar banyak model seperti itu,” sanggah Siro.
“Tidak mungkin. Bi Romlah tidak mungkin bersusah payah ke pasar hanya untuk beli sandal untuk dipakai sehari-hari. Dalam pikirannya sandal sebagus itu tidak begitu penting. Dia cukup membelinya di toko terdekat.”
“Belum tentu yang membelinya di toko itu Bi Romlah, Sar.” Nimur menimpali ucapan temannya.
“Bi Romlah yang membeli. Pemilik toko itu bilang begitu padaku.” Sarrip tampak sedikit kesal.
“Tapi, jejak di masjid menunjukkan pelaku seorang laki-laki, Sar,” sambung Siro.
“Ada dua kemungkinan. Pertama, Bi Romlah meminjamkan sandalnya pelaku. Kedua, pelaku memang punya sandal sendiri. Di antara dua kemungkinan tersebut, aku lebih condong pada yang pertama. Bi Romlah meminjamkan sandalnya.”
“Kok bisa begitu?” tanya Siro.
“Apa kalian ingat, kapan pelaku beraksi?” Sarrip balik bertanya.