Cek-Klek.
Pintu kantor terbuka.
Sarrip mengikuti Komar masuk dalam kantor. Dia berisyarat dengan tangan agar kedua temannya menunggu depan pintu.
Saat Komar melenggang ke arah utara, Sarrip menghentikan langkah di tengah ruangan. Dia mengusap dagu dan memperhatikan sekeliling.
Keadaan ruangan itu sesuai dengan apa yang dikatakan Sarrip pada kedua temannya. Tampak meja guru berbaris rapi di kanan kiri ruangan. Lemari, etalase dan rak tempat alat tulis, berdiri berdampingan di sisi utara. Ketiga benda itu memiliki tinggi dua meter dan tampak sejajar. Sementara di atasnya terpampang foto kepala sekolah dan semua dewan guru.
Saat Komar sibuk mengeluarkan sapu dan kemuceng di samping lemari, Sarrip masih berdiri di tempatnya memerhatikan apakah yang sekiranya berhubungan dengan kedatangan Bi Romlah.
Sarrip melihat jam pukul dua belas dua puluh menit. Artinya dua puluh menit lagi Pak Diman akan datang.
Setelah beberapa saat, Sarrip kembali pada kedua temannya. Dia berdiri tepat di ambang pintu menghadap ke dalam.
“Gimana, Sar?” tanya Siro lirih.
Sarrip tidak menjawab. Anak itu berdiri serius mengusap dagu.
Ketiga anak itu tidak satu pun membantu Komar yang kesulitan mengeluarkan sapu dan kemuceng di pojok sana.
Sarrip melangkah pelan. Matanya menajam mengamati tiap jengkal kakinya. Dia berjalan sedikit berbelok ke kiri lalu kemudian memutar ke kanan.
Di sana, dia berdiri tepat di depan sebuah meja. Menggosok-gosokkan ujung kaki ke lantai, mundur beberapa langkah kemudian memutar badan.
Dia mengangkat kepala menatap patung torso di pojok sana. Wajahnya tampak lega dan tersenyum bangga.
“Ro, kenapa kalian masih di situ?” tanya Komar pada Siro yang masih di pintu bersama Nimur.
Mereka bingung namun nyengir menanggapi Komar.
“Aku bagian kemuceng saja,” pinta Sarrip seolah ikut merasa bersalah.
Dia mengambil kemuceng di tangan Komar, lalu menuju pojok kanan di mana patung itu berada. Dia membersihkan patung itu dengan kemuceng.
“Kenapa kamu membersihkan itu, Sar? Seharusnya meja guru lebih dulu. Itu tidak terlalu penting," kata Komar.
“Oh, ya. Tapi kalau meja dibersihkan lebih dulu nanti kotor lagi. Soalnya debu akan lantai naik lagi ke atas. Lebih baik aku bersih-bersih di sini sambil nunggu kalian selesai menyapu,” kata Sarrip cari alasan.
Sarrip memandangi torso seakan sedang berbicara lewat batin. Mengamatinya dari atas hingga bawah. Lalu kemudian menusukkan ujung telunjuk ke hidung patung tersebut.
Setelah itu, Sarrip memeluk patung itu dengan hingga tangannya melingkari seluruh tubuh patung itu.
Sarrip berjongkok, lalu mencabut kemuceng di ketiaknya.
Dia mengibas-ngibas pelan kaki patung seolah tidak ingin membuat patung itu kesakitan. Sedetik, anak itu tampak seperti kurang kerjaan. Bahkan dengan suka hati anak itu mencium kaki torso.
Sementara Siro menatap jijik tingkah temannya itu sambil terus menyapu.
Sarrip tidak peduli debu-debu menerpa hidungnya. Dia tetap mengibas-ngibas kaki patung itu berulang kali hingga kelihatan lebih licin.
Selain itu, Sarrip juga memijat betis torso dengan mata terpejam. Lalu kemudian, menyelinap di baliknya untuk memijat bagian punggung. Membuat patung itu sedikit bergoyang.
“Apa yang kamu lakukan, Sar?” tanya Komar kesal melihat tingkah bodoh Sarrip.
Kepala Sarrip muncul dari balik patung itu. Dia nyengir, “Sepertinya patung ini kecapaian, Mar. Dia sudah berdiri empat tahun di sini. Jadi aku memijatnya.”
“Oh, begitu.” Komar menunjuk lemari, “di sini juga ada patung kuda, kalau kamu mau, kamu boleh memijatnya. Kasihan sudah lama kuda itu sering dinaiki anak-anak TK. Mungkin ia juga kecapaian.”
“Itu patung binatang, Mar. Aku takut nanti kena sepak. Yang ini kan tidak punya tangan, Mar. Jadi aman,” kata Sarrip ketika telapak tangannya meraba suatu celah di pundak patung itu. Dia menyelipkan jarinya, dan menarik kertas yang ada di sana. Tanpa sepengetahuan teman-temannya, Sarrip membuka lipatan kertas itu secepat mungkin dan kemudian meletakkannya kembali.
“Dasar gila. Sudah kamu bersihkan meja saja. Siro dan Nimur sudah selesai menyapu.” Komar memanggil Sarrip.