Jejak di Bawah Langit Merah

Dedimas Aldhitto
Chapter #6

Di Bawah Langit Merah #6

>> Pertempuran besar di sebuah desa.


Langit malam itu memerah, seakan mencerminkan darah yang tumpah di tanah desa. Di bawah sinar bulan yang samar, pertempuran besar berkecamuk antara para pejuang desa dan penjajah Belanda. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran menggema, menciptakan simfoni tragis yang menggetarkan hati.


Di tengah kekacauan itu, Kevin dan Axel berdiri teguh, bahu-membahu melawan musuh yang datang tanpa henti. Keberanian mereka tak tergoyahkan, meski nyawa mereka terancam setiap detik.


“Axel, kita harus bertahan! Demi desa ini!” teriak Kevin sambil mengayunkan pedangnya dengan kekuatan yang luar biasa.


Axel, dengan ketenangan yang mengagumkan, menembakkan peluru demi peluru ke arah musuh. “Aku tahu, Kevin! Kita tidak boleh menyerah sekarang!”


Di sisi lain medan pertempuran, Sari, Lisna, dan Rina berjuang dengan gigih. Mereka bukan hanya bertarung untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk masa depan desa yang mereka cintai.


“Sari, hati-hati!” seru Lisna saat melihat musuh mendekat.


Sari mengangguk dan dengan cekatan menghindari serangan itu. “Terima kasih, Lisna! Kita harus tetap bersama!”


Bambang, Johan, Guntur, dan Johar, dengan tubuh yang penuh luka, tetap maju tanpa ragu, menunjukkan pengorbanan yang luar biasa.


“Bambang, kau baik-baik saja?” tanya Johan dengan suara khawatir.


Bambang tersenyum meski darah mengalir dari lukanya. “Aku masih bisa bertarung, Johan. Kita harus melindungi desa ini.”


Maria, Siti, Amir, dan Rudi, meski terluka, terus memberikan dukungan kepada rekan-rekan mereka. Mereka tahu bahwa setiap tindakan mereka, sekecil apapun, bisa mengubah jalannya pertempuran.


“Amir, kita butuh lebih banyak peluru di sini!” panggil Rudi.


Amir segera berlari membawa amunisi tambahan. “Ini, Rudi! Jangan biarkan mereka mendekat!”


Di bawah langit merah itu, mereka semua bersatu dalam satu tujuan: kebebasan.


Pengorbanan dan keberanian yang ditunjukkan malam itu mengubah nasib Kevin dan Axel selamanya. Mereka tidak hanya menjadi pahlawan bagi desa mereka, tetapi juga simbol harapan dan perlawanan bagi generasi yang akan datang.


Di tengah pertempuran, Kevin dan Axel bertemu dengan Sari dan Lisna yang sedang bertarung dengan gigih.


“Kevin, Axel! Kalian baik-baik saja?” tanya Sari dengan napas terengah-engah.


“Kami baik, Sari. Bagaimana dengan kalian?” jawab Axel sambil menembakkan peluru ke arah musuh.


“Kami bertahan. Tapi kita butuh rencana untuk mengusir mereka,” kata Lisna sambil menghindari serangan musuh.


Kevin berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita harus memusatkan serangan kita di satu titik. Jika kita bisa memecah barisan mereka, kita punya kesempatan.”


“Setuju. Ayo kita lakukan!” seru Sari dengan semangat.


Mereka semua bergerak bersama, mengoordinasikan serangan mereka dengan presisi. Di bawah langit merah itu, mereka semua bersatu dalam satu tujuan: kebebasan.


Kevin dan Axel memimpin serangan frontal, menerobos barisan musuh dengan keberanian yang luar biasa. Kevin mengayunkan pedangnya, menebas musuh yang mencoba menghalangi jalannya. Axel, dengan tembakan yang akurat, melindungi punggung Kevin, memastikan tidak ada musuh yang mendekat dari belakang.


“Kevin, di sebelah kananmu!” teriak Axel saat melihat seorang tentara Belanda mendekat dengan bayonet terhunus.


Kevin berbalik cepat, menangkis serangan itu dengan pedangnya sebelum memberikan pukulan mematikan. “Terima kasih, Axel! Kita harus terus maju!”


Di sisi lain medan pertempuran, Sari dan Lisna bekerja sama dengan sempurna. Sari menggunakan tombaknya untuk menjaga jarak musuh, sementara Lisna dengan cekatan menyerang dari jarak dekat dengan pisau belatinya.


“Sari, di belakangmu!” seru Lisna saat melihat musuh mendekat.


Sari berputar cepat, menusukkan tombaknya ke arah musuh yang mendekat. “Kita tidak boleh lengah, Lisna!”


Bambang, Johan, Guntur, dan Johar membentuk barisan pertahanan, melindungi para pejuang yang terluka dan memastikan tidak ada musuh yang bisa menembus pertahanan mereka. Mereka bertarung dengan gigih, menunjukkan keberanian yang luar biasa meski tubuh mereka penuh luka.


“Johan, kita harus bertahan sedikit lagi!” teriak Bambang sambil menangkis serangan musuh.


Aku tahu, Bambang! Kita tidak boleh menyerah!” jawab Johan dengan semangat.


Di tengah pertempuran, para tentara Belanda mulai merasakan tekanan dari serangan yang terkoordinasi dengan baik. Komandan mereka, dengan wajah tegang, berteriak memerintahkan mundur.


“Kita tidak bisa bertahan di sini! Mundur!” teriak sang komandan.


Para tentara Belanda, yang awalnya penuh percaya diri, kini mulai panik. Mereka berusaha melawan, tetapi serangan para pejuang desa terlalu kuat. Beberapa dari mereka mencoba melarikan diri, tetapi segera dihentikan oleh barisan pertahanan yang dibentuk oleh Bambang dan yang lainnya.


“Jangan biarkan mereka kabur!” seru Guntur sambil menangkis serangan musuh.


“Kita harus mengakhiri ini sekarang!” tambah Johar dengan semangat.


...


Setelah pertempuran mereda, para pejuang berkumpul di tengah desa. Luka-luka mereka dirawat, dan mereka saling berbagi cerita tentang keberanian dan pengorbanan yang telah mereka saksikan.


“Sari, kau luar biasa tadi,” kata Lisna sambil tersenyum lelah.


“Kita semua luar biasa,” jawab Sari. “Ini adalah kemenangan kita bersama.”


Kevin dan Axel duduk di dekat api unggun, merenungi apa yang telah terjadi. “Axel, aku tidak akan pernah melupakan malam ini,” kata Kevin dengan suara pelan.


“Begitu juga aku, Kevin. Kita telah melakukan sesuatu yang besar,” jawab Axel, menahan rasa sakit yang menjalar dari lukanya.


Axel berusaha menyembunyikan luka parah di sisi tubuhnya, tidak ingin membuat Kevin khawatir. Dia menekan luka itu dengan tangan, berharap darahnya tidak terlalu banyak mengalir.


Di bawah langit yang kini mulai cerah, mereka semua tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Tapi untuk malam itu, mereka merayakan kemenangan kecil mereka, dengan harapan dan semangat yang baru.


Axel menatap api unggun, merasakan kehangatannya yang sedikit mengurangi rasa sakit. “Kevin, aku bangga bisa bertarung bersamamu,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar.


Kevin tersenyum, tidak menyadari penderitaan Axel. “Aku juga, Axel. Kita akan terus berjuang bersama.”


Axel mengangguk, menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyuman. Dia tahu bahwa malam ini adalah awal dari perjuangan yang lebih besar, dan dia siap menghadapi apapun yang akan datang, meski dengan luka yang tersembunyi.


Di bawah langit malam yang penuh bintang, api unggun berkobar dengan tenang, memancarkan cahaya hangat yang menari-nari di wajah-wajah lelah para pejuang. Axel, dengan napas tersengal-sengal, duduk di dekat api, mencoba mengatasi rasa sakit dari luka-luka yang ia terima dalam pertempuran sengit melawan kolonial penjajah. Namun, tubuhnya yang lemah tak mampu bertahan lebih lama. Dengan desahan pelan, ia terjatuh ke tanah, matanya mulai kabur.


Kevin, yang sejak tadi mengawasi sahabatnya dengan cemas, langsung tersentak panik. Tanpa berpikir panjang, ia berlari mendekat, lututnya menghantam tanah saat ia berusaha menopang tubuh Axel.


"Axel! Bertahanlah, aku di sini," bisiknya dengan suara gemetar, penuh kekhawatiran.


Axel membuka matanya perlahan, menatap Kevin dengan pandangan lemah. "Kevin... aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan," suaranya terdengar serak dan penuh rasa sakit.


"Tidak, jangan bicara seperti itu," Kevin menegaskan, menggenggam tangan Axel erat-erat. "Kita sudah melalui banyak hal bersama. Kau harus bertahan. Demi kita semua."


Axel mencoba tersenyum, meski rasa sakitnya semakin menjadi. "Kau selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik, Kevin. Terima kasih."


Di tengah kegelapan malam, persahabatan mereka menjadi satu-satunya cahaya yang tak pernah padam.


...


Kevin berusaha keras untuk tetap tenang, meskipun hatinya dipenuhi kecemasan. Ia tahu bahwa mereka harus segera mencari bantuan jika ingin menyelamatkan Axel. Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh sahabatnya dan memanggil beberapa pejuang lain yang berada di sekitar api unggun.

Lihat selengkapnya