Jejak di Tengah Kerudung

Nabila Ghaida Zia
Chapter #1

Ustadzah Eyang

Usiaku tak lagi muda. Tahun ini adalah tahun keduaku resmi meninggalkan peranku sebagai seorang guru SMA Negeri yang telah kujalani selama 36 tahun. Aku telah pensiun, tapi peranku di tanah ini masih akan terus berlanjut. Kali ini adalah peran yang bagiku seperti menjalankan amanah menjaga agama Allah yang selama ini telah menjadi peganganku dalam menghadapi ujian-ujian kehidupan termasuk ujian saat orde baru di mana aku merasa semua orang mengucilkanku hanya karena aku memakai kerudung dan menutup rapat tubuhku. Tak mudah memegang prinsip religius ini saat itu. Cemas setiap malam, pandangan sinis, sindiran, bahkan ancaman sudah jadi hal biasa bagiku.

Atas izin Allah, aku bisa melewati setiap tantangan hidup itu dan tetap mempertahankan prinsip untuk menutup aurat dengan sempurna. Hal yang kini sangat mudah dilakukan tanpa ada ancaman di mana saja. Era ini berbeda, dulu mereka yang mengenakan kerudung ujiannya adalah ancaman pemerintah hingga masyarakat yang tak bersahabat. Namun, kini ujiannya adalah pada konsistensi dengan banyaknya percampuran budaya yang dengan mudah diakses melalui genggaman jari setiap muslimah. 


Peranku kali ini tak untuk lembaga pemerintah, tapi untuk lembaga sekolah swasta berbasis islam yang aku dan teman-temanku dirikan. Awalnya bermula dari bekas kandang kambing, kini bisa mempunyai enam kelas untuk jenjang taman kanak-kanak, bahkan tahun ini kami sudah meluluskan satu angkatan jenjang sekolah dasar. Awalnya, aku hanya menjadi penasehat untuk yayasan yang menaungi dua lembaga tersebut. Namun, kini, teman-teman pengurus memintaku turun langsung menjadi seorang perempuan yang mengepalai taman kanak-kanak islam terpadu (TKIT) dengan jumlah murid lebih dari seratus murid yang terbagi dalam enam kelas. 


Sekolah TKIT ini lahir dari duka mendalam selepas peristiwa bencana tanah longsor yang datangnya bak tsunami, mendadak, dan meluluh lantahkan satu dusun. Bencana itu terjadi pada tanggal 13 Desember 2014. Tanah longsor itu menghilangkan lebih dari seratus warga yang tinggal didalamnya. Menyisakan pilu bagi anak-anak dari dusun ini yang pergi merantau. Masih kuingat kala itu, menjelang maghrib hujan rintik tak terlalu deras sudah berhenti turun, tapi tiba-tiba bencana besar itu datang. Awalnya hanya para relawan lokal yang membantu, hingga bala bantuan para relawan dari penjuru nusantara datang ke sini untuk membantu.

Adanya para relawan ini terutama relawan dari Peduli Muslim yang menggerakkan hati kami untuk mendirikan lembaga dakwah pendidikan. Karena bencana ini menjadi refleksi besar bagi masyarakat akan pentingnya penerapan nilai-nilai religius. Sayangnya, saat itu masih belum ada lembaga sekolah yang berbasis islam, maka akhirnya lahirlah TKIT ini. Tujuan kami adalah dakwah. Dakwah tak selalu berdiri di atas mimbar, tapi kami berpikir bahwa dakwah melalui lembaga pendidikan akan lebih melekat di hati anak-anak apalagi jika diajarkan sejak dini. TKIT ini mulai beroperasi pada tahun 2015. Masih kuingat perjuanganku mencari guru dan merayunya agar mau membantu perjuangan ini, hingga mencari murid yang alhamdulillah bisa kami dapatkan enam belas orang murid. 


Dulu saat aku menjadi pegawai negeri sipil sebagai guru di SMA Negeri, banyak rekan-rekan guru yang memintaku untuk menjadi kepala sekolah. Namun, saat itu, aku terus menolak. Bahkan di lingkungan asalku di daerah Purbalingga sana, keluarga besarku memintaku untuk maju menjadi calon lurah. Namun, lagi-lagi aku terus menolak. Bukan karena aku tak memiliki kompetensi. Namun, hal yang aku yakini adalah bahwa kepemimpinan itu seyogyanya dipimpin oleh laki-laki sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Quran bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Atas dasar itu, ketika aku diminta untuk menjadi pemimpin dan orang-orang yang akan aku pimpin nantinya ada laki-laki dewasa, maka aku lebih memilih untuk laki-laki yang maju.

Namun, kini berbeda, ketika aku diminta untuk menjadi kepala sekolah taman kanak-kanak islam terpadu (TKIT) yang kami dirikan. Nantinya orang-orang yang aku pimpin adalah para ustadzah dan aku bertanggung jawab atas keberlangsungan pendidikan anak-anak yang masih berusia 4-6 tahun itu. Aku mantap menerima permintaan itu. Karena aku berada di lingkungan yang aman tanpa bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahrom. Usiaku memang tak lagi muda, penglihatanku saja masih rabun jauh, tanganku sudah selalu gemetar, namun semangat dakwahku tak akan pernah luntur. Karena inilah tabunganku untuk bertemu dengan sang pencipta yang selalu kurindukan. 


Hari ini, aku mengenakan kerudung besarku yang menutupi hingga bagian lututku. Sungguh nyaman, kini aku bebas memakai kerudung sebesar apa pun ukurannya tanpa perlu merasa takut. Kerudungku hari ini seragam warnanya dengan para ustadzah yakni warna coklat tua yang ada sentuhan warna abu-abu, orang banyak menyebutnya warna taupe. Gamisku pun senada dengan warna kerudung dengan kombinasi warna hitam. Pakaian seperti ini yang selalu kuperjuangkan hingga akhirnya, ada masa aku bebas memakainya tanpa harus diminta paksa untuk menggantinya. 


Aku berdiri di atas panggung memberikan sepatah kata atau sambutan di hadapan lebih dari seratus wali murid beserta anaknya yang juga turut memenuhi ruangan ini. Suara riuh gelak tawa, derap langkah anak-anak yang saling mengejar satu sama lain membuat ruangan ini terasa penuh. Begitu juga dengan suasananya, membuat hatiku penuh terisi. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa aku akan bisa mendirikan lembaga sekolah sendiri bersama teman-temanku. Bagiku sudah cukup menjadi seorang PNS yang bisa menjamin kehidupanku. Namun, ghirah atau semangatku yang menggelora untuk menolong agama Allah membawaku ada disini, di hadapan ratusan pasang mata yang sedang memandangku dan menanti kata-kata yang keluar dari mulutku.


Layaknya sambutan sebuah acara. Aku mengucapkan terima kasih atas kepercayaan para wali murid kepada pihak sekolah dengan menitipkan putra-putrinya di sekolah ini. Tak lupa, aku memberikan sedikit penjelasan tentang pentingnya acara hari ini. Acara hari ini membahas bagaimana komunikasi efektif antara orang tua dan guru dalam pendidikan anak usia dini. Acara ini memang menjadi agenda yang selalu ada di setiap semester. Tak berlama-lama aku memberikan sambutan, lalu aku mengakhiri dengan petuah andalanku. 


“Semoga para ananda yang ada di TKIT ini, kelak akan menjadi anak sholeh-sholehah yang terus memegang teguh agama ini apa pun kondisinya. Saya masih teringat, dulu ketika hanya saya sendiri di Kecamatan Karangkobar yang berkerudung dan saat itu tidaklah mudah. Ada ancaman dari pemerintah bahkan saya sampai dimata-matai karena dianggap penganut paham islam liberal. Namun, kini berjilbab semakin mudah dan semoga ananda putri kita terus istiqomah dengan jilbabnya sampai akhir hayat. Semoga kita para orang tua terus mempunyai ghirah atau semangat untuk membersamai anak-anak istiqomah dalam menjalankan syariat islam. Demikianlah yang bisa saya sampaikan.” Itulah rangkaian kalimat pamungkasku. 


“Demikianlah sambutan dari Kepala Sekolah TKIT Ibnu Hajar Al-Asqolani,” ucap salah seorang pembawa acara yang mengiringi langkahku turun ke panggung. 


Langkahku tak segesit dulu. Aku selalu berpikir tenagaku masih sama seperti dulu. Namun, kini langkahku agak terasa lebih lambat, bahkan aku merasakan postur tubuhku yang sudah tak setegak dulu. Mungkin, inilah yang biasa digambarkan anak-anak tentang seorang yang tua. Jalannya sudah lambat dan posturnya pun mulai sedikit demi sedikit membungkuk. Namun, alhamdulillah Allah masih memberikanku kesehatan ketika teman-teman seumurku yang lain tergeletak tak berdaya di kasur. 


Aku menuruni tangga satu per satu dengan cermat. Tak seperti anak-anak TK yang dari tadi lincah berlarian menaiki tangga begitu cepatnya. Kuletakkan mikrofon di meja pembawa acara dengan tanganku yang gemetar. Tangan ini gemetar bukan karena grogi, tapi memang sedari dulu entah kenapa tangan ini mudah sekali gemetaran. Sampai setua ini, aku belum sempat mengecek apa gerangan yang membuat tanganku gemetaran atau tremor. Bahkan tremor ini menurun pada anak pertamaku yang kini usianya di akhir usia dua puluhan, masih sering tremor tangannya. 


Sambutanku telah selesai, sesuai dengan urutan acara maka setiap selesai acara sambutan maka akan diselingi dengan penampilan dari murid-murid sesuai dengan kelasnya. Kini giliran kelas A2 untuk tampil dan cucuku ada di kelas A2. Dari kejauhan, kulihat murid-murid putra dan putri berbaris rapi, seragam warna ungu mereka terlihat cerah diterpa cahaya panggung. Langkah-langkah kecil mereka bergerak selaras, seperti denting musik yang tenang. Satu per satu mereka berjalan menuju panggung dengan antusiasme yang khas anak-anak, semangat yang seakan-akan menggema memenuhi ruangan.

Di barisan ketiga, berdirilah Rahman, cucu laki-lakiku. Wajahnya ceria dengan mata yang bersinar penuh percaya diri. Bibir mungilnya seolah siap tersenyum kapan saja, menguak dua gigi kecilnya yang menonjol, menambah kesan manis di wajah sawo matangnya. Bulu matanya panjang, lentik, melengkung indah seperti sapuan kuas seorang pelukis ulung. Rambutnya yang dicukur rapi menciptakan kesan tegas, namun ia tetap terlihat seperti bocah lucu yang mengundang dekap erat.

Saat Rahman melangkah maju, tak ada getar ragu dalam langkahnya. Tatapannya tajam, mengandung kepercayaan diri seorang anak yang tahu bahwa dunia panggung adalah tempatnya bersinar, meskipun untuk sementara. Senyum tipisnya mengembang, dan aku tahu di dalam hati kecilnya, ia sedang mempersiapkan diri untuk memberikan yang terbaik di hadapan penonton.

Kelas A2 ini layaknya barisan para semut yang selalu menjaga ritme jalannya agar selalu selaras. Bak pasukan semut, tidak butuh waktu lama untuk mengatur mereka berbaris di atas panggung. Anak-anak perempuan duduk bersilah di barisan depan. Sedangkan anak-anak laki-laki berdiri di belakang barisan perempuan. Hanya ada dua mikrofon. Ustadzah memberikan satu buah mikrofon pada barisan murid perempuan dan laki-lakii. Ternyata mikrofon untuk anak laki-laki diberikan pada Rahman. 

“Beri salam, Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh,” ucap anak-anak kelas A2 serentak, suara mereka jernih dan penuh semangat, memenuhi seluruh ruangan. Sementara suara itu bergema, tangan-tangan mungil mereka serentak terangkat, jari-jari terbuka lebar menunjuk ke langit-langit. Ada keselarasan di antara mereka, seolah-olah setiap gerakan telah tertata rapi dalam sebuah harmoni visual. 

Dengan lembut, tangan-tangan kecil itu bergerak turun, menyatu di depan dada mereka. Jemari mereka bertemu, telapak tangan menyatu, menghadirkan ketulusan dalam salam yang mereka sampaikan. Anggukan kepala mereka yang serempak menandakan akhir salam, sebuah tanda hormat yang penuh kepolosan masa kecil. Mata mereka bersinar, wajah-wajah polos itu penuh harap dan rasa bangga, seolah setiap kata yang terucap adalah jembatan menuju ridha Ilahi.

“Kami dari kelas A2 akan menampilkan hafalan hadits, dengarkan kami ya,” lagi-lagi mereka berucap serempak. 

Hatiku terasa hangat melihat penampilan anak-anak yang akan menghafalkan beberapa hadits pendek. Aku teringat masa lalu. Dulu, aku baru belajar tentang hadits yang benar-benar shahih itu saat di Solo, setelah aku pindah dari satu majelis ke majelis yang lainnya. Kini lihatlah betapa anak-anak zaman sekarang memiliki kemudahan untuk menerapkan ajaran agama islam dengan leluasa tanpa ada ancaman dari rezim pemerintah. 

Saat pikiranku kembali menyelam ke lautan masa lalu, tiba-tiba kurasakan tubuhku didekap oleh tubuh mungil nan lembut tangannya. 

“Misha sayang, sudah tampil, ya?” tanyaku. Ternyata ia adalah Misha, murid yang selalu memelukku ketika melihatku. Entah apa daya pikatku yang membuatnya suka memelukku. 

“Udah tadi, Ustadzah Eyang,” jawab Misha dengan nada manjanya, suaranya yang lembut seperti bisikan kecil yang menyelinap ke hatiku. Aku tersenyum mendengarnya, merasa hangat dipanggil dengan sebutan yang khas itu. Di sekolah ini, anak-anak biasa memanggilku Ustadzah Eyang, sebuah julukan yang menumbuhkan rasa kekeluargaan yang dalam.

Setiap kali mendengar panggilan itu, aku merasa seolah memiliki lebih dari seratus cucu, masing-masing membawa kebahagiaan dan keunikan mereka sendiri. Namaku sebenarnya adalah Sri Asih Rahayu, namun nama panggilan sehari-hariku adalah Asih. 

"Lebih cocok dengan mukamu," kata teman-temanku dulu, sambil tertawa kecil. Aku masih ingat bagaimana panggilan itu muncul begitu saja—tanpa rencana, tanpa banyak pertimbangan. Ada-ada saja, memang. Tetapi panggilan itu akhirnya menjadi bagian dariku, menyatu dengan kehangatan wajah yang katanya memang mencerminkan kelembutan seorang Asih.

“Tadi Misha hafalan hadits, ya? Bagus sekali, Ustadzah tadi menyaksikan penampilan Misha. Masya Allah, sungguh, semangat sekali. Bagaimana rasanya tadi tampil di depan banyak orang?”

“Rasanya suka, Ustadzah, tapi kenapa, sih, Misha tampilnya gak didandanin? Temen Misha yang sekolah di Mutiara Ceria tampilnya pakai baju bagus banget, gak kerudungan, sama didandanin cantik kayak princess. Misha pengen kayak gitu, Ustadzah,” keluh Misha panjang lebar padaku. Misha memang selalu menanyakan banyak hal yang membuatku perlu menjawabnya dengan bahasa yang bisa ia pahami. 

“Memang apakah sekarang Misha merasa tidak cantik?” tanyaku balik.

“Ya, tetap cantik, sih, Ustadzah, tapi Misha kan pengen kayak princess, kayak Barbie yang cantik banget itu, loh, Ustadzah,” jawabnya comel. 

“Mau denger cerita anaknya Ustadzah Eyang gak, nih?”

“Cerita apa, Ustadzah Eyang?”

Lihat selengkapnya